Pendidikan Waktu: Sebuah Strategi Budaya

Demi waktu,
Sungguh manusia dalam keadaan merugi,
Kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, dan
Saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran Al Qur’an,
– Surat al ‘Asr

pendidikan-waktu-strategi-budaya

Pendahuluan

Sejarah peradaban manusia telah dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa kekayaan sumberdaya alam, warna kulit, dan kecerdasan sumberdaya manusia semata tidak menentukan keberhasilan sebuah bangsa menjadi bangsa yang maju dan makmur. Sebuah bangsa membutuhkan sikap, disiplin, integritas, kemauan bekerja keras, kepatuhan pada hukum dan peraturan, penghargaan kepada hak-hak orang lain, dan kegairahan untuk melakukan perbaikan terus menerus agar menjadi bangsa yang maju dan makmur.

Masalahnya adalah, jika pendidikan kita dapat didefinisikan sebagai sebuah proses memaknai seluruh pengalaman hidup kita, pendidikan selama ini didekati secara formalistik sebagai sebuah sektor di antara sektor-sektor lainnya. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional gagal menyadarkan kita untuk akrab dengan lingkungan kita sendiri dan kreatif menyediakan solusi-solusi bagi beragam persoalan kehidupan kita. Sebagai negara agraris, harus dikatakan, bahwa pembangunan pertanian kita saja tidak menunjukkan kinerja yang membanggakan, apatah lagi kinerja pembangunan kelautannya. Pendek kata, pendidikan kita gagal mengantarkan kita untuk memiliki kompetensi teknikal, dan sosial yang diperlukan untuk mengubah sumberdaya alam yang melimpah itu menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan. Kita mengalami disorientasi dengan terlalu menekankan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif-akademik yang sempit, namun kurang memperhatikan jenis kecerdasan lainnya (menurut Howard Gardner ada delapan kecerdasan di luar kecerdasan linguistik dan matematik), termasuk soft-competence –seperti disiplin- yang justru dalam banyak hal jauh lebih menentukan keberhasilan kita sebagai individu maupun bangsa.

Sewaktu kita di sekolah dan di kampus, sekolah dan kampus gagal mengembangkan kemandirian kita sebagai agen-agen perubahan (change agents) yang mengambil sikap kritis pada proses-proses pembangunan, namun seringkali justru menjadi benteng kemapanan, dan mereduksi diri menjadi sekedar diploma mills (pabrik ijazah). Kampus juga menjadi contoh yang buruk dalam manajemen waktu : prosentase mahasiswa yang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu (8 semester/ 4 tahun) cukup rendah (lihat Tabel 1). Kegagalan pendidikan kita tidak saja telah menyebabkan tidak saja sektor pertanian dan kelautan kekurangan para enterpreneur –sebagai agen perubahan- dan tenaga kerja dengan wawasan dan kompetensi yang memadai, dua sektor inipun merupakan dua sektor yang kurang berkembang, dan kurang terurus, terlebih sektor kelautannya.

Kita sering dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa keterbelakangan kita merupakan akibat dari sistem yang brengsek, ketiadaan leadership atau moral kita yang buruk. Beberapa sosiolog terkemuka mengatakan bangsa kita ini termasuk bangsa dan negara yang lembek (soft nation and state). Dalam rangka mengikhtiarkan perbaikan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah kompetisi global saat ini Saya setuju, namun saya akan fokus pada satu persoalan pokok bangsa ini: ketidakpekaan (insensitivity) dan ketidakdisiplinan (indiscipline) kita terhadap waktu. Thesis saya adalahIndonesia hanya bisa keluar dari keterpurukan dan bangkit menuju kemajuan hanya dengan satu jalan : membangun budaya waktu yang sehat. Tabel 1. Prosentase mahasiswa yang selesai tepat waktu (8semester) TA 2006-2007

Universitas Indonesia ITS Surabaya Universitas Hasanudin
Prosentase lulus tepat waktu 51% 44% 21,42%

Jika budaya merupakan basis kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi sebuah masyarakat, maka ciri pokok yang membedakan sebuah bangsa yang maju dengan yang terbelakang adalah budaya waktunya. Artinya, sementara bangsa yang maju memiliki budaya waktu yang sehat, bangsa yang terbelakang tidak memilikinya. Budaya waktu yang tidak sehat pada sebuah masyarakat dicerminkan dari ketidakpekaan waktu masyarakat tersebut. Ketidakpekaan waktu menyebabkan implikasi merusak yang luas di berbagai bidang kehidupan masyarakat tersebut. Salah satu akibatnya adalah ketidakdisiplinan terhadap waktu, dan ini selanjutnya merupakan sumber keterbelakangan masyarakat tersebut.

Pertama, ketidakpekaan kita terhadap waktu menyebabkan kita sulit berubah, dan takut menghadapi –jangankan memulai- perubahan. Waktulah yang menyediakan peluang perubahan terjadi –time makes changes probable. Jika manajemen merupakan seni mengubah sumberdaya yang terbatas untuk menghasilkan nilai tambah, kapasitas manajemen bangsa ini rendah. Kita tidak menghargai efisiensi yang lazim diperoleh jika proses-proses dapat dipercepat (hemat waktu). Keterlambatan dan penundaan (delays) merupakan hal yang lazim dijumpai, dan menyebabkan berbagai macam bentuk time-mismatches. Ketidakpekaan waktu bangsa ini terbukti sebagian oleh kenyataan bahwa ilmu manajemen kita tertinggal, dan pendidikan manajemennya terlambat bangkit. (Sebagai catatan, program Magister Manajemen yang pertama di Indonesia dilakukan oleh UI pada akhir tahun 1980-an, sedangkan program MBA di Harvard sudah dimulai 80 tahun sebelumnya). Sekalipun orang sering mengatakan yang diperlukan adalah kemampuan menjalankan rencana (eksekusi), perencanaan yang gagal sama saja dengan merencanakan kegagalan. Oleh karena itu kita melihat betapa banyak sektor yang mengalami salah urus (mismanaged, atau under-managed), dan akhirnya banyak proyek terlambat diselesaikan. Jika waktu merupakan sumberdaya yang penting karena sifatnya yang ever-decreasing, kesuksesan setiap manajemen amat ditentukan oleh kemampuannya mengelola waktu (time management) yang terbatas.

Dari sudut pandang manajemen, waktu merupakan variable yang paling independen (most independent and least controllable). Mengelola waktu merupakan kegiatan terpenting untuk sukses dalam hidup pribadi maupun bisnis. Baik kualitas Q (perhatian pembangunan di era pertanian), maupun efisiensi E (perhatian era industri), dan waktu penyerahan D (delivery) pada akhirnya tergantung oleh waktu (perhatian utama era informasi).Di era teknologi informasi ini, persaingan akan dimenangkan oleh mereka yang tercepat, bukan yang terkuat. Bill Gates –CEO Microsoft- bahkan mengatakan ”competition at the speed of light”. Dengan mempercepat proses (memajukan jadwal penyerahan/delivery), mutu akan naik, sementara biaya akan turun. Kunci keberhasilan QED ini pada disiplin waktu.

Kedua, ketidakpekaan kita terhadap waktu juga menghambat kita untuk berpikir proses dalam sebuah sistem (process and system thinking). Proses hanya mungkin atau pantas dilakukan jika waktu masih ada. Berpikir proses berarti berpikir sistem, berorientasi tujuan, bekerjasama dengan komponen-komponen sistem lainnya, pada waktu yang tepat dalam sebuah orkestrasi. Di samping pendidikan yang terkotak-kotak menjadi disiplin-disiplin yang berbeda-beda, ego-sektor merupakan gejala yang lazim ditemui sejak tahap perencanaan dimulai. Padahal, waktu-lah yang menyatukan berbagai macam sektor tersebut (time alignment). Oleh karena itu, sinergi dan koordinasi di tingkat pelaksanaan seringkali hanyalah ilusi belaka, begitu perencanaanya tidak memadu –bukan terpadu. Artinya, aspek keterpaduan yang terpenting adalah keterpaduan waktu. Perencanaan yang baik memadukan berbagai sumberdaya dan komponen sistem, tidak terpadu secara ajaib dengan sendirinya (otomatis). Perencanaan yang memadu memerlukan ikhtiar, dan kesanggupan bekerjasama pada waktu yang tepat. Perencanaan yang tidak memadu telah mendorong ketidaksimetrian informasi antar-sektor yang luas, menyebabkan kegiatan pembangunan sebagai upaya perubahan menjadi tidak efisien dan tidak efektif, serta membuka peluang korupsi. Banyak kegagalan, dan kesenjangan spasial, seringkali disebabkan oleh kesenjangan temporal (time-gap).

Ketiga, ketidakpekaan kita terhadap waktu juga menjelaskan mengapa kemampuan rekayasa (engineering) kita lemah, sehingga bangsa ini tetap saja tinggal menjadi konsumen teknologi belaka. Sementara itu, banyak penggunaan berbagai bentuk teknologi tidak membawa manfaat sebesar yaang kita harapkan. Rekayasa merupakan sebuah proses penambahan nilai (value-adding process) melalui transformasi sumber-sumberdaya yang terbatas. Banyak produk-produk rekayasa buatan manusia ditujukan terutama untuk mempercepat (waktu) beragam kegiatan manusia. Kebutuhan untuk melakukan rekayasa hanya tumbuh jika kita memiliki kepekaan waktu yang tinggi. Percepatan berbagai macam kegiatan dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas manusia untuk melakukan berbagai kegiatan produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa. Tanpa rekayasa teknologis ini, produktifitas manusia modern tidak akan setinggi saat ini. Banyak insentif yang dijanjikan oleh aplikasi teknologi justru sirna oleh ketidakdisplinan terhadap waktu.

Keempat, ketidakpekaan kita terhadap waktu telah mengakibatkan sektor jasa kita tertinggal perkembangannya. Mutu sektor jasa (services) –baik publik maupun swasta- ditentukan oleh kecepatan layanan tersebut sebagai dimensi pengalaman yang penting bagi seorang pelanggan. Bahkan orientasi pada pelanggan kita masih rendah. Ada pameo dan seloroh di kalangan masyarakat tentang sikap birokrasi : jika bisa dipersulit (artinya diperlama waktu pengurusannya), mengapa harus dipermudah (dipercepat) ? Penggunaan teknologi informasi hampir-hampir tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena sikap birokrasi yang masih saja tidak menghargai waktu.

Persoalan-persoalan di sektor pelayanan publik seperti transportasi jelas-jelas menunjukkan betapa kita tidak memiliki kepekaan waktu yang memadai untuk bersikap disiplin waktu. Di samping kebijakan transportasi yangtidak berorientasi publik, kecenderungan kita memilih sarana transportasi individual (motor ataupun mobil) daripada transportasi publik, terutama kereta api, menunjukkan kapasitas disiplin waktu kita yang rendah. Pengelolaan transportasi berbasis rel mensyaratkan kemampuan dan disiplin waktu yang amat tinggi. Jepang bisa menjadi contoh bagaimana disiplin waktu dipertontonkan dalam pengelolaan transportasi kereta apinya yang amat maju.

Berbagai macam kecelakaan transportasi di Indonesia akhir-akhir ini telah mengakibatkan tidak saja masyarakat domestik mulai meragukan aspek-aspek keselamatan transportasi, masyarakat internasional pun mulai ”menghukum” kita. Integritas sistem-sistem kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang amat ditentukan oleh kesuksesan operasi (operational success) perusahaan-perusahaan yang mengoperasikannya. Kesuksesan operasi ini akan menentukan dan selanjutnya ditentukan oleh integritas sistem-sistem teknologis sarana-sarana transportasi tersebut. Keandalan sistem-sistem ini semuanya ditentukan oleh dukungan logistik yang merupakan time-driven activities (umur, jadwal perawatan dan penggantian suku cadang). Baru-baru ini Uni Eropa telah mengeluarkan larangan terbang atas maskapai penerbangan Indonesia, termasuk Garuda Indonesia. Bahkan Kerajaan Saudi Arabia telah mengindikasikan sikap serupa terhadap Garuda Indonesia.

Kelima, ketidakpekaan kita terhadap waktu, di satu sisi telah menghambat kapasitas kita untuk berpikir jangka panjang ke masa depan, dan, di sisi lain, apresiasi kita yang rendah terhadap sejarah. Kita cenderung berpikir jangka pendek, dan instan, tidak memiliki visi yang jelas, dan oleh karenanya mudah tidak bersabar. Kita menjadi enggan merencanakan, dan kegiatan planning (bagi manajer, atau visioning bagi pemimpin) dinilai sebagai pekerjaan yang tidak penting. Orang sering mangatakan bahwa perencanaan itu tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah pelaksanaannya.

Kita juga tidak tahan menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan (fog of the future yang diakibatkan oleh rentang waktu yang panjang dan dibawa oleh masa depan), sehingga terjebak pada isu-isu yang serba-pasti dan serba-jelas, serta kuantitatif . Padahal kita tahu, bahwa semakin pasti, jelas, dan quantifiable sesuatu, semakin tidak penting hal-hal tersebut. Akibatnya, kita enggan berpikir strategis, berpikir atas sesuatu yang benar-benar penting dan kualitatif, dan terlena berpikir atas yang sepele, remeh-temeh, teknis dan kuantitatif. Penghargaan berlebihan terhadap jurusan IPA dan meremehkan IPS dan bahasa sewaktu di SMA merupakan kecenderungan-kecenderungan yang tidak sehat yang masih terjadi sampai hari ini.

Karena memimpin berarti membawa pengikut ke masa depan, keengganan menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan ini merupakan sumber krisis kepemimpinan kita saat ini. Dalam sejarah Indonesia modern, kita bisa melihat bahwa kegagalan Habibienomics sebagian disebabkan karena Indonesia kekurangan kepemimpinan intelektual budaya yang mampu mengimbangi kepemimpinan teknologi Habibie yang amat menonjol saat itu.

Keenam, ketidakpekaan kita terhadap waktu membuat kita tidak menghargai dinamika. Ketumpulan dinamik (dynamic blunt) menyebabkan bangsa Indonesia menjauhi anugerah Tuhan yang terbesar pada bangsa ini, yaitu anugerah kekayaan kelautan dan kepulauan Nusantara ini. Jika ciri menonjol budaya agraris (pertanian) adalah ”kediamannya”, ciri terpenting laut adalah ”perubahannya” (dinamikanya) yang dicerminkan oleh fenomena gerakan (motion) dan aliran (flow) : Jika kita diam dalam satu koordinat di laut, sebentar saja posisi kita sudah berubah akibat aliran gelombang, arus dan angin.

Di samping pendidikan yang tidak diorientasikan secara lebih seimbang ke laut, ketumpulan dinamik membuat bangsa Indonesia kesulitan memahami laut, dan telah mendorong masyarakat kita melihat laut lebih sebagai misteri dengan penuh rasa takut, daripada sebagai anugerah dan potensi kemakmuran yang perlu dikelola. Pemerintah kolonial Belanda berhasil menjajah negeri ini selama tiga ratus tahun lebih dengan menguasai lautnya setelah menghancurkan infrastruktur kekuatan-kekuatan (kerajaan-kerajaan) pesisirnya. Kepekaan waktu-lah –yang khas negara maju- yang pernah membuat Inggris dan Belanda, kemudian AS sebagai kekuatan maritim global terbesar di dunia saat ini, sekalipun AS bukan negara kepulauan. Anggaran riset di bidang kelautan AS bahkan menyamai anggaran pendidikan nasional Indonesia.

Ketujuh, ketidakpekaan kita terhadap waktu telah membuat kita terlena dengan time zoning yang merugikan selama bertahun-tahun. Sekalipun secara alamiah Indonesia membentang ke tiga wilayah waktu, namun pembagian wilayah waktu Indonesia justru merugikan. Akibat Indonesia terbagi dalam 3 wilayah/zona waktu, jendela transaksi ekonomi, sosial, budaya, dan politik menjadi lebih pendek 2-4 jam setiap hari, selama bertahun-tahun. Implikasi politik (dalam arti keutuhan NKRI) akibat ”keterpecahan waktu” (time-misalignment) ini tidak bisa diremehkan untuk Indonesia yang amat majemuk dan luas ini. Untuk mempermudah upaya-upaya mempersatukan Indonesia, keterpecahan waktu ini harus segera diakhiri.

Merauke harus menunggu 2 jam, dan Makasar 1 jam setelah buka kantor untuk mulai melakukan transaksi dengan mitranya di Jakarta. Dan mereka harus tutup 2 jam (Merauke) dan 1 jam (Makassar) sebelum mitra Jakartanya tutup. Industri listrik, penerbangan, pariwisata, televisi, perbankan, dan perdagangan pada umumnya dirugikan akibat zonasi waktu ini. Seperti Cina, Indonesia yang memiliki bentang geografis yang setara seharusnya menggunakan satu wilayah waktu saja –sebut saja Waktu Kesatuan Indonesia-, dengan mengacu pada Waktu Indonesia Tengah (waktu Denpasar) agar terintegrasi dengan pasar utama Asia (Hongkong dan Singapura). Ini menunjukkan, Cina lebih cerdas mengelola waktunya daripada kita.

bangun-budaya-waktu

Pendidikan Liberal Arts : Membangun Budaya Waktu

Dalam rangka melahirkan agen-agen perubahan di masyarakat, khususnya dalam rangka menyiapkan SDM yang mengemban tugas mentransformasikan sumberdaya alam menjadi besaran-besaran nilai tambah yang tinggi, pendidikan terpenting adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran, penghargaan, dan kepatuhan (disiplin) terhadap waktu. Artinya, aspek disiplin yang terpenting adalah disiplin waktu (time discipline). Bagaimana kita menumbuhkan kepekaan waktu dan, kemudian, disiplin waktu ? Strategi terpenting dalam pendidikan yang membangun kepekaan terhadap waktu adalah bagaimana waktu tidak saja lebih mudah dipahami, namun juga menentukan keindahan dan kemenangan (dua hal yang menentukan kebahagiaan manusia, dan kejayaan sebuah bangsa) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-hari.

Pertama, kepekaan dan disiplin waktu dapat diajarkan tidak melalui kekerasan, namun melalui pendidikan sejarah. Jika pendidikan berarti memandu peserta didik ke masa depan, gagasan tentang masa depan ini hanya bermakna jika masa lalu juga memperoleh pemaknaan yang setara. Waktu sebagai rangkaian peristiwa dapat lebih dimaknai jika pendidikan sejarah disajikan dengan cara yang jauh lebih baik daripada yang diajarkan saat ini di sekolah-sekolah kita, tidak sekedar menghafalkan nama orang, serta tanggal, namun membahas peristiwa secara lebih komprehensif (menjawab pertanyaan mengapa, dan bagaimana).

Kita menyaksikan betapa pelajaran sejarah disajikan demikian menarik di negara-negara maju, dan betapa museum-musem mereka merupakan tempat rekreasi yang diminati, dan betapa mereka menghargai waktu. Sementara di negara-negara yang kurang maju dan tertinggal, pelajaran sejarah seringkali merupakan pelajaran yang membosankan, museum-museum nya penuh debu dan sepi pengunjung, dan penduduknya terkenal dengan budaya ”jam karet”. Karena para pemimpin bangsa umumnya mereka yang belajar dan menghargai sejarah (ingat seruan Bung Karno untuk ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” –JAS Merah), pendidikan sejarah yang buruk tidak saja membuat kita tidak menghargai waktu, namun telah mengganggu kaderisasi kepemimpinan bangsa ini.

Kedua, kepekaan waktu harus dipupuk melalui budaya membaca. Sementara masa depan adalah gagasan dan masa lalu hanyalah ingatan –yang juga gagasan-, waktu barangkali merupakan gagasan yang paling sulit untuk dicandra dan dipahami. Barangkali gagasan tentang waktu merupakan gagasan yang tersulit dipahami sesudah gagasan tentang Tuhan. Oleh karena itu, kemampuan menggagas merupakan prasyarat untuk peka terhadap waktu. Bahasa merupakan wadah di mana gagasan-gagasan itu disusun, dibentuk, dan bahkan diperjuangkan dalam bentuk tulisan, rencana-rencana, dan catatan-catatan peristiwa yang telah berlalu. Bahkan Indonesia, baik sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, maupun saat ini, hanyalah gagasan belaka (an imagined society). Yang tercandra oleh mata hanyalah gunung-gunung dan lembah, hamparan laut biru, sungai-sungai, dan bentangan hijau sawah, serta rumah di kaki langit.

Membaca merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperluas wawasan dan mengembangkan kemampuan menggagas. Oleh karena itu, budaya membaca yang kuat merupakan prasyarat bagi budaya waktu yang sehat. Sayang sekali, kita gagal membangun budaya membaca. Kita melompat dari budaya tutur ke budaya nonton (TV). Jumlah judul buku baru yang terbit di Indonesia tidak lebih dari 5.000 judul/tahun, sementara di Malaysia sudah mencapai 15.000 judul/tahun, dan Inggris mencapai 100.000 judul tahun (ini termasuk buku karangan J.K. Rowling ”Harry Potter”). Di negara-negara maju, kita melihat orang membaca di mana-mana, termasuk sewaktu menunggu bis, kereta api, maupun pesawat terbang. Kemiskinan ekonomi merupakan akibat langsung dari kemiskinan gagasan.

Oleh karena inilah, pendidikan bahasa yang bermutu merupakan pondasi yang penting bagi pendidikan yang menumbuhkan budaya membaca yang sehat serta penghargaan atas gagasan. Pendidikan bahasa perlu dititikberatkan pada penguasaan penggunaannya dalam kehidupan –bukan teori tentang bahasa-, terutama berkomunikasi secara verbal, dan menulis (membuat kolom, laporan, komposisi, buku, dsb.).

Ketiga, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan seni, terutama pendidikan musik yang mengembangkan kecerdasan musikal. Tidak saja melalui pendidikan musik kita mengasah kepekaan kita terhadap tempo, ritme dan dinamika melalui temporal experience yang sehat, kita bahkan mengasah kecerdasan kognitif kita. Kita melihat bagaimana pendidikan musik di Indonesia tertinggal, sehingga kecerdasan musik rata-rata orang Indonesia rendah, dan mereka yang memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi masih kalah dengan mereka –dengan kecerdasan skolastik yang sama- yang belajar musik.

Pemenang Nobel sains umumnya mereka yang, paling tidak, memiliki apresiasi musik yang tinggi, atau bahkan sanggup memainkan alat musik tertentu secara piawai. Bagi banyak orang, profesi musik sekalipun digandrungi (Indonesian Idol umumnya adalah penyanyi), masih saja dianggap tidak menjanjikan. Berbeda dengan di negara-negara miskin, di negara maju, mereka yang terkaya sebagiannya adalah para pemusik. Pendidikan kita harus membuka jalan-jalan baru ke masa depan yang sama baiknya (bahkan lebih baik) bagi anak-anak dengan kecerdasan musik yang tinggi.

Keempat, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan jasmani (olahraga). Melalui pendidikan jasmani, kita belajar melalui pengalaman spatial-temporal expereince bagaimana kecepatan, kekuatan, stamina, dan koordinasi amat menentukan efektifitas dan efisiensi gerakan tubuh, dan –dalam permainan berkelompok- akan menentukan kemenangan. Segera perlu dicatat, bahwa pelatihan jasmani yang baik akan ikut menentukan perkembangan kecerdasan kognitif kita. Bahkan, banyak dari kita yang baru dapat ”belajar” dengan baik setelah melakukan kegiatan olahraga (yang menyenangkan) terlebih dahulu. Kita melihat, bagaimana pendidikan Indonesia tidak mengembangkan kecerdasan kinestetik ini. Porsi pendidikan olahraga, baik waktu, sarana dan prasarananya, tidak sepadan dibanding dengan porsi pendidikan akademik-skolastik. Dalam khasanah Islam, Rasulullah bahkan menganjurkan kita untuk belajar berenang, berkuda dan memanah.

Kelima, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan yang mengembangkan ketrampilan mengelola waktu (time management). Salah satu cara menumbuhkan ketrampilan mengelola waktu adalah melalui pendidikan berbasis proyek (project-based learning) pemecahan masalah. Melalui pendidikan berbasis proyek ini, siswa diperkenalkan dengan penyelesaian masalah melalui pendekatan proyek dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas, dalam jangka waktu tertentu, serta oleh sebuah tim. Ini sekaligus akan membangun kesadaran proses dan kesadaran sistem (organisasi), serta kemampuan bekerja dalam sebuah kelompok.

Pembelajaran berbasis proyek juga mendorong kita untuk membuat rencana dan menjadikan kegiatan merencanakan sebagai kegiatan sehari-hari. Tanpa rencana, tidak ada prioritas, dan semua boleh dilakukan. Tanpa rencana berarti tanpa tujuan, dan evaluasi menjadi tidak relevan. Dengan merencanakan, tumbuh budaya penghargaan terhadap waktu yang sehat, dan kemudian mengembangkan disiplin waktu. Rasulullah bahkan mengatakan ”Jadikan hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok hari lebih baik dari hari ini. Jika hari ini sama saja dengan kemarin, kamu rugi. Jika esok lebih jelek dari hari ini, kamu celaka”. Pesan Rasulullah ini mengandung hikmah bahwa kita harus senantiasa melakukan ”continuous self improvement”.

Penutup

Kita mengamati betapa pendidikan kita selama ini perlu direorientasikan kembali untuk mengembangkan pendidikan liberal arts yang membangun kesadaran sejarah, kecerdasan-kecerdasan bahasa, dan musik, serta pendidikan jasmani yang membangun kecerdasan kinestetik. Pendidikan semacam ini akan meningkatkan citarasa keindahan dan kejayaan yang kemudian akan menjadi motif yang lestari bagi kemajuan bangsa. Pendidikan Indonesia selama ini terfokus hanya pada kecerdasan-kecerdasan skolastik-kognitif-akademik melulu. Kita tidak saja menjadi pengimpor produk-produk musik (budaya) asing, kita juga terpuruk di bidang olah raga, dan kemudian juga tertinggal di bidang sains dan teknologi.

Untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari kelompok bangsa tertinggal, pendidikan nasional perlu diarahkan agar warga negara memiliki kesadaran waktu dan, kemudian, disiplin waktu yang tinggi. Kepekaan waktu ini dapat dipupuk melalui kemampuan apresiasi warga negara pada sejarah, bahasa, seni musik, dan olahraga. Apresiasi ini akan menjadi pijakan bagi disiplin waktu, dan kompetensi manajerial, dan rekayasa yang dibutuhkan untuk mentransformaikan sumberdaya alam nasional menjadi besaran-besaran nilai tambah yang membawa kesejahteraan dan kemakmuran.

Oleh karena itu benar, apabila Qur’an memberikan apresiasi yang tinggi terhadap budaya membaca (perintah dan ayat pertama Qur’an adalah perintah ”iqra’ !”), dan budaya waktu. Bahkan dikatakan ”waktu bagaikan pedang” (al waqt ka a-syaif). Bahkan semua orang akan merugi (jika mengabaikan waktu), dan ciri terpenting orang yang beriman adalah mereka yang menghargai waktu melalui amal shaleh (perbuatan yang membawa manfaat), dan cara hidup yang menghargai kebenaran dan (kesabaran) dalam mencapai tujuan hidup.

Comments

  1. Remco Muzerie

    Hi Daniel,

    I am very interested in building a wooden Phinisi ship and I understand that you have set up a company for that purpose together with Michael Johnson as technical advisor. Would it be possible to open a conversation around this subject.

    Regards Remco Mzerie

  2. eko setyo

    trim untuk bapak karena memeberi nalar baru bagi otak saya ini. semoga saya dapat belajar keras dengan anugrah waktu yang tersedia ini.

  3. Anggo

    Wawasan bapak dalam menulis sangat baik, dapat menyajikan dengan menarik, jelas dan berisi…dan tulisan bapak memberikan ilmu tambahan bagi saya…bagaimana saya dapat sharing dengan bapak???
    mungkin dengan membahas tentang “kepribadian yang baik guna memajukan bangsa kita” terima kasih banyak pak dan salam kenal

  4. agung widiarso

    pak daniel….ini Agung pak….kenapa 2009 saya baru kenal bapak….trimakasih bapak mau berkenalan dengan saya..dan saya ingat pesan bapak tetap semangat dengan urusan NUCIFERA..matur nuwun pak daniel

  5. eliza

    wah…keren…ininih yang saya butuhin buat nembah referensi makalah tetang manajemen waktu..makasih banyak..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *