Dalam rangka melahirkan agen-agen perubahan di masyarakat, khususnya dalam rangka menyiapkan manusia yang mengemban tugas mentransformasikan sumberdaya alam menjadi besaran-besaran nilai tambah yang tinggi, pendidikan terpenting adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran, penghargaan, dan kepatuhan (disiplin) terhadap waktu. Artinya, aspek disiplin yang terpenting adalah disiplin waktu (time discipline). Bagaimana kita menumbuhkan kepekaan waktu dan, kemudian, disiplin waktu ? Strategi terpenting dalam pendidikan yang membangun kepekaan terhadap waktu adalah bagaimana waktu tidak saja lebih mudah dipahami, namun juga menentukan keindahan – pengalaman estetis- dan kemenangan (dua hal yang menentukan kebahagiaan manusia, dan kejayaan sebuah bangsa) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pertama, kepekaan dan disiplin waktu dapat diajarkan tidak melalui kekerasan, namun melalui pendidikan sejarah. Jika pendidikan berarti memandu peserta didik ke masa depan, gagasan tentang masa depan ini hanya bermakna jika masa lalujuga memperoleh pemaknaan yang setara. Waktu sebagai rangkaian peristiwa dapat lebih dimaknai jika pendidikan sejarah disajikan dengan cara yang jauh lebih baik daripada yang diajarkan saat ini di sekolah-sekolah kita, tidak sekedar menghafalkan nama orang, serta tanggal, namun membahas peristiwa secara lebih komprehensif (menjawab pertanyaan mengapa, dan bagaimana).
Kita menyaksikan betapa pelajaran sejarah disajikan demikian menarik di negara-negara maju, dan betapa museum-musem mereka merupakan tempat rekreasi yang diminati, dan betapa mereka menghargai waktu. Sementara di negara-negara yang kurang maju dan tertinggal, pelajaran sejarah seringkali merupakan pelajaran yang membosankan, museum-museum nya penuh debu dan sepi pengunjung, dan penduduknya terkenal dengan budaya ”jam karet”. Karena para pemimpin bangsa umumnya mereka yang belajar dan menghargai sejarah (ingat seruan Bung Karno untuk ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” –JAS Merah), pendidikan sejarah yang buruk tidak saja membuat kita tidak menghargai waktu, namun telah mengganggu kaderisasi kepemimpinan bangsa ini.
Kedua, kepekaan waktu harus dipupuk melalui pendidikan bahasa yang baik, terutama untuk membangun budaya membaca. Sementara masa depan adalah gagasan dan masa lalu hanyalah ingatan –yang juga gagasan-, waktu barangkali merupakan gagasan yang paling sulit untuk dicandra dan dipahami. Barangkali gagasan tentang waktu merupakan gagasan yang tersulit dipahami sesudah gagasan tentang Tuhan. Oleh karena itu, kemampuan menggagas merupakan prasyarat untuk peka terhadap waktu. Bahasa merupakan wadah di mana gagasan-gagasan itu disusun, dibentuk, dan bahkan diperjuangkan dalam bentuk tulisan, rencana-rencana, dan catatan-catatan peristiwa yang telah berlalu. Bahkan Indonesia, baik sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, maupun saat ini, hanyalah gagasan belaka (an imagined society). Yang tercandra oleh mata hanyalah gunung-gunung dan lembah, hamparan laut biru, sungai-sungai, dan bentangan hijau sawah, serta rumah di kaki langit.
Membaca merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperluas wawasan dan mengembangkan kemampuan menggagas. Oleh karena itu, budaya membaca yang kuat merupakan prasyarat bagi budaya waktu yang sehat. Sayang sekali, kita gagal membangun budaya membaca. Kita melompat dari budaya tutur ke budaya nonton (TV). Jumlah judul buku baru yang terbit di Indonesia tidak lebih dari 5.000 judul/tahun, sementara di Malaysia sudah mencapai 15.000 judul/tahun, dan Inggris mencapai 100.000 judul tahun (ini termasuk buku karangan J.K. Rowling ”Harry Potter”). Di negara-negara maju, kita melihat orang membaca di mana-mana, termasuk sewaktu menunggu bis, kereta api, maupun pesawat terbang. Kemiskinan ekonomi merupakan akibat langsung dari kemiskinan gagasan.
Oleh karena inilah, pendidikan bahasa yang bermutu merupakan pondasi yang penting bagi pendidikan yang menumbuhkan budaya membaca yang sehat serta penghargaan atas gagasan. Pendidikan bahasa perlu dititikberatkan pada penguasaan penggunaannya dalam kehidupan –bukan teori tentang bahasa-, terutama berkomunikasi secara verbal –termasuk ketrampilan mendengarkan-, dan menulis (membuat kolom, laporan, komposisi, buku, dsb.).
Ketiga, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan seni, terutama pendidikan musik yang mengembangkan kecerdasan temporal/musikal. Tidak saja melalui pendidikan musik kita mengasah kepekaan kita terhadap tempo, ritme dan dinamika melalui temporal experience yang sehat, kita bahkan mengasah kecerdasan kognitif kita. Pemenang Nobel sains (dan kebanyakan insinyur dan desainer teknik terbaik di Silicon Valley) umumnya mereka yang, paling tidak, memiliki apresiasi musik yang tinggi, atau bahkan sanggup memainkan alat musik tertentu secara piawai.
Bagi banyak orang, profesi musik sekalipun digandrungi (Indonesian Idol umumnya adalah penyanyi), masih saja dianggap tidak menjanjikan. Berbeda dengan di negara-negara miskin, di negara maju, mereka yang terkaya sebagiannya adalah para pemusik. Riset-riset terbaru di bidang psycoacoustics menunjukkan bahwa musik meningkatkan kapasitas kognisi manusia. Pendidikan kita harus membuka jalan-jalan baru ke masa depan yang sama baiknya (bahkan lebih baik) bagi anak-anak dengan kecerdasan musik yang tinggi.
Kita melihat bagaimana pendidikan seni, terutama musik, di Indonesia tertinggal. Pendidikan seni terpinggirkan, dan diajarkan secara amatir oleh guru yang tidak kompeten. Berbeda dengan di negara maju, Fakultas Senirupa di Indonesia jarang yang memiliki jurusan musik, apalagi yang kuat yang memiliki orkes simphoni berkualitas internasional. Kecerdasan seni (musik) rata-rata orang Indonesia rendah, dan mereka yang memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi masih kalah dengan mereka –dengan kecerdasan skolastik yang sama- yang belajar musik. Anak-anak Indonesia kebanyakan tidak memperoleh pendidikan musik yang memadai, dan ini telah merugikan kapasitas kognisi mereka. Untuk mampu membentuk sebuah orkestra simponi kelas dunia, Indonesia barangkali membutuhkan waktu paling tidak 20-40 tahun lagi.
Keempat, kepekaan terhadap waktu dan ruang juga dapat ditumbuhkan melalui pendidikan jasmani (olahraga atau gymnastics) dan bermain (dalam arti games maupun dolanan). Melalui pendidikan jasmani, kita belajar melalui pengalaman spatial-temporal expereince bagaimana kecepatan, kekuatan, stamina, dan koordinasi amat menentukan efektifitas dan efisiensi gerakan tubuh, dan –dalam permainan berkelompok- akan menentukan kemenangan. Bahkan dalam dolanan, anak-anak juga belajar melakukan kontrak-kontrak sosial, dan berlatih mematuhi kesepakatan-kesepakatan. Di samping itu, bermain merupakan pelatihan dasar dalam banyak pemanfaatan sumberdaya bersama (common pool resources) kita seperti air, hutan, dan juga ketertiban lalu lintas. Tanpa pendidikan bermain yang memadai, masyarakat lebih sering berperan sebagai free-riders, dan mementingkan diri sendiri dalam pemanfaatan sumberdaya bersama tersebut.
Pelatihan jasmani yang baik akan ikut menentukan perkembangan kecerdasan kognitif kita. Bahkan, banyak dari kita yang baru dapat ”belajar” dengan baik setelah melakukan kegiatan olahraga (yang menyenangkan) terlebih dahulu. Dalam khasanah Islam, Rasulullah bahkan menganjurkan kita untuk belajar berenang, berkuda dan memanah. Ketiga jenis olah raga ini tidak saja melatih kekuatan dan stamina, namun juga koordinasi, konsentrasi, dan tempo.
Kita melihat, bagaimana pendidikan Indonesia tidak mengembangkan kecerdasan kinestetik ini. Bahkan bermain dianggap tidak belajar. Porsi pendidikan olahraga, baik waktu, sarana dan prasarananya, tidak sepadan dibanding dengan porsi pendidikan akademik-skolastik. Dilaporkan baru-baru ini [Republika 4/8/07] oleh Sekretaris Pembina Tim UKS Pusat bahwa 50% anak-anak SD di Indonesia kesegaran jasmaninya amat rendah karena kurang berolahraga, dan tentu saja karena kekurangan prasarana dan sarana bermain.
Kelima, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan yang mengembangkan ketrampilan mengelola waktu (time management), terutama melalui personal leadership ala Covey. Salah satu cara menumbuhkan ketrampilan mengelola waktu adalah melalui pendidikan berorientasi problem-solving (problem-based learning) dengan alokasi waktu tertentu, dan mendorong ketrampilan merencanakan (planning) sedini mungkin, jika perlu mulai pendidikan dasar. Melalui pendidikan berorientasi pemecahan masalah dan sadar-perencanaan ini, siswa diperkenalkan dengan penyelesaian masalah melalui perencanaan dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas, dalam jangka waktu tertentu, serta oleh sebuah tim. Ini sekaligus akan membangun kesadaran proses dan kesadaran sistem (organisasi), serta kemampuan bekerja dalam sebuah kelompok.
Pembelajaran berorientasi pemecahan masalah juga mendorong kita untuk membuat rencana dan menjadikan kegiatan merencanakan sebagai kegiatan sehari-hari. Tanpa rencana, tidak ada prioritas, dan semua boleh dilakukan. Tanpa rencana berarti tanpa tujuan, dan evaluasi menjadi tidak relevan. Dengan merencanakan, tumbuh budaya penghargaan terhadap waktu yang sehat, dan kemudian mengembangkan disiplin waktu. Rasulullah bahkan mengatakan ”Jadikan hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok hari lebih baik dari hari ini. Jika hari ini sama saja dengan kemarin, kamu rugi. Jika esok lebih jelek dari hari ini, kamu celaka”. Pesan Rasulullah ini mengandung hikmah bahwa kita harus senantiasa melakukan ”continuous self improvement”.