Universitas Gagal Mengemban Peran Sebagai Sistem Peringatan Dini

early warning system
Ada sebuah pelajaran penting yang dilupakan bangsa ini : kita memerlukan sebuah sistem peringatan dini (early warning system) yang peka mencandra berbagai bencana sosial, budaya, ekonomi, dan politik sebelum bencana-bencana ini terjadi. Saat ini kita disibukkan oleh berbagai upaya pemasangan berbagai sistem peringatan diri untuk berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan tsunami, ataupun gempa bumi. Krisis multi-dimensi yang dipicu oleh krisis moneter, lalu krisis keuangan, dan kemudian menjadi krisis politik yang menumbangkan Orde Baru pada tahun 19971-1998 gagal kita cegah. Sampai saat ini, krisis itu masih terasa sebagai sebuah trauma multi-dimensi.

Adalah tugas universitas, bukan tugas mahasiswa-mahasiswanya, untuk memberi peringatan dini terhadap berbagai ancaman bencana sosial, budaya, ekonomi, dan politik tersebut, sebelum semuanya sudah menjadi begitu buruk sehingga langkah-langkah perubahan menjadi efektif dan berbuah kebaikan. Saya menilai, selama 40 tahun terakhir ini, universitas semakin menurun perannya sebagai agen perubahan (agent of change) –yang memprakarsai perubahan-perubahan penting-.

Mengapa perguruan tinggi ? Karena perguruan tinggi memperoleh hak istimewa memberi gelar sarjana, magister, dan doktor yang hanya dimungkinkan secara terhormat dan terpercaya bila lembaga ini mengembangkan kebebasan akademik. Implikasinya adalah, perguruan tinggi harus mempertahankan posisinya yang bebas, dan obyektif, serta kritis. Sesungguhnya, inilah yang menjadi dasar etika intelektual (ilmiah) yang membuat perguruan tinggi dihargai : perguruan tinggi tidak boleh mengabdi pada bohirnya (Pemerintah yang memberikan anggaran melalui APBN), namun harus menomorsatukan kebenaran, dan kemaslahatan masyarakat. Fungsi peringatan dininya dipupuk melalui kekuatannya menyuarakan kebenaran melalui penelitian dan pendidikan yang bermutu.

Perguruan-perguruan tinggi semakin inward-looking, terasing dengan dunia di sekitarnya, kehilangan relevansi, dan kepekaan serta daya kritis yang diperlukan bagi peran sebuah agen perubahan dan sistem peringatan dini. Perguruan-perguruan tinggi semakin asyik dengan berbagai macam proyek Pemerintah dan swasta sehingga hampir-hampir melupakan perannya sebagai agen perubahan. Bahkan, perguruan tinggi menjadi bagian dari kemapanan (status quo). Kampus-kampus pun semakin berpikir pragmatis, jangka pendek, dan gagal menjadi pemandu mahasiswa ke masa depan.

Namun kegagalan perguruan tinggi ini sebenarnya tidak mengagetkan, karena pendidikan nasional kita telah gagal membangun sekolah dan kampus yang melahirkan manusia-manusia kreatif yang memprakarsai perubahan. Sentralisasi pembangunan pendidikan berpuluh tahun telah secara efektif meruntuhkan prakarsa-prakarsa local. Bahkan melalui Ujian Nasional yang diposisikan sebagai penentu kelulusan peserta didik, Pemerintah telah menghancurkan profesi guru sebagai model manusia kreatif bagi peserta didik.

Bahwa pendidikan kita gagal dapat dengan mudah kita lihat dari nasib IKIP. Sebelum berubah menjadi berbagai Universitas Negeri, IKIP dalam keadaan hidup segan mati tak mau. Setelah perubahannya menjadi Universitas, kematian IKIP diresmikan. Profesi guru tidak lagi sebuah profesi yang dibanggakan, dan diminati oleh mereka yang paling berbakat.
Bahkan harus dikatakan, bahwa IKIP dan berbagai metamorfosisnya kemudian, gagal menyuarakan perubahan kebijakan pendidikan yang keliru saat ini. Sementara itu, PGRI, bukanlah asosiasi profesi guru yang diperhitungkan sama sekali.

Pendidikan nasional juga gagal ketika gagal membangun budaya membaca yang sehat. Kita meloncat dari budaya pra-literer ke budaya menonton TV, melupakan tugas membangun budaya membaca yang diperlukan bagi masyarakat yang memiliki kemampuan menggagas. Budaya jam karet merupakan bukti bagaimana masyarakat yang tidak membaca gagal mengapresiasi gagasan abstrak seperti waktu. Tidak disiplin waktu dan ketidakpekaan waktu merupakan sumber keterbelakangan Indonesia, dan resistensi manusia Indonesia terhadap perubahan.

Pendidikan nasional juga gagal membangun Indonesia sebagai negeri kepulauan yang bercirikan Nusantara. Geo-arsitektur Indonesia yang bersifat kepulauan tropis ini unik, dan harus dipandang sebagai taqdir alamiah bangsa ini. Cara pandang benua yang diwariskan penjajah dan diteruskan oleh sistem pendidikan kita saat ini telah membuat ruang kehidupan (lebensraum) bangsa ini seolah hanya sebuah pulau besar, sehingga kita mengabaikan keluasan laut kita serta mentelantarkan penguasaan kompetensi yang diperlukan bagi sebuah negeri maritim yang kuat. Membangun sebuah negeri bahari tidak bisa diserahkan kepada institusi yang menangani teknologi kelautan dan perikanan saja seperti sekarang ini terjadi. Kita membutuhkan pendidikan dan penelitian sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang menyediakan sumberdaya manusia yang berkompeten untuk mengubah kelimpahan laut Nusantara ini menjadi kekuatan kemakmuran.

Upaya-upaya untuk membangun sistem pendidikan nasional yang lebih menghargai prakarsa-prakarsa lokal telah dimulai, namun justru dihambat oleh kebijakan pendidikan yang tidak konsisten, terutama kebijakan Ujian Nasional yang diposisikan sebagai penentu kelulusan peserta didik. Seharusnya Pemerintah memusatkan perhatian pada perbaikan kinerja penyedia layanan pendidikannya terlebih dahulu (perbaikan infrastruktur dan manajemen sekolah melalui akreditasi, dan perbaikan kinerja guru melalui sertifikasi guru), bukan malah menagih kinerja peserta didik sebagai konsumen jasa pendidikan.

Perjuangan kampus-kampus PTBHMN untuk pembiayaan pemerintah melalui skema block grants masih terganjal pada kebijakan keuangan yang masih melestarikan ketergantungan PTBHMN tersebut pada birokrasi. Gelombang reformasi yang setelah hamper 10 tahun berlangsung tidak dirasakan buahnya kecuali ketidakpastian, dan kekacauan serta keputusasaan yang luas, masih belum diikuti oleh kebijakan yang konsisten untuk memperkuat sistem pendidikan nasional kita. Reformasi mendasar harus dimulai dari sekolah dan kampus sebagai tempat penyemaian gagasan perubahan, tidak di tempat lain. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lugas untuk mengembalikan peran pendidikan yang menginspirasikan perubahan, dan sekolah sebagai agen-agen perubahan, serta kampus sebagai sistem peringatan dini. Jika kita gagal lagi, kita niscaya akan mengalami berbagai krisis dan bencana lagi.

Comments

  1. arul

    Saya dukung bapak jadi Rektor UI…:)

    Pemikiran-pemikiran bapak begitu visioner, tapi yang menjadi permasalahan juga perguruan tinggi hanya menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang instant tidak mampu mengikuti perkembangan dunia.
    Hanya mampu sebagai pekerja, peneliti tapi tidak bermanfaat.

    Trus Untuk PTBHMN, saya masih melihat kejanggalan karena perguruan tinggi akan disibukkan nantinya hanya mencari uang, tidak memikirkan perkembangan ilmiah di kampus.
    Bagaimana kampus bisa mewah dan punya banyak uang.

    Trus untuk pimpinan universitas, jangan sampai kesibukan mengurusi manajemen/keuangan, namun fokus inti perguruan tinggi seperti yg ad di tri dharma perguruan tinggi diabaikan.

  2. Daniel Rosyid

    Terimakasih Sdr. Arul.
    Soal PTBHMN, lihat artikel saya yang lain di blog ini. Saya mengusulkan sebuah model bisnis universitas yang baru.
    Kebutuhan keberlanjutan keuangan dapat diintegrasikan dalam strategi membangun universitas riset melalui strategic CSR-based university business model.
    Daniel Rosyid

  3. SAPTO J. POERWOWIDAGDO

    Pak Daniel,

    Saya dukung pak Daniel untuk terus maju sebagai bakal calon rektor UI. Meskipun hanya satu dari tiga belas yang lain dari UI, tapi kalau pemilihan bersifat dan berjalan objektif, pasti akn mengerucut sesuai proses yang benar.
    Kehendak pemerintah/Depdiknas/Dikti untuk menglobalkan semua perguruan tinggi, yang mengarah kepada kristalisasi atau pemampatan jumlah perguruan tinggi di Indonesia hanya sekitar 500 dari semula sekitar 3000an, agar semua dapat mampu bersaing global, memang baik, tetapi kesempatan untuk mengikuti pendidikan tinggi menajdi semakin sempit bagi mereka yang dalam kelompok marjinal. Ketatnya aturan dalam pnelenggaraan perguruan tinggi akan menyaring perguruan tinggi benar-benar mampu mengelola PTnya dengan baik dan ketat (EPSBED, QA, dll), yang pada akhirnya akan menjadi mahal biaya operasionalnya. Akibatnya yang pas-pasan akan berguguran. Dengan nuansa otonomi daerah, pemda berusaha untuk mempunyai perguruan tinggi di daerah masing-masing, tapi dengan pengketatan persyaratan tersebut, menjadi sulit bagi mereka. Peluang pemuda-pemuda daerah untuk kuliah di daerahnya sendiri menjadi berkurang, sedamgkan bersaing untuk mengikuti perkuliahan di PT yang sudah mapan sesuai ketentuan juga sulit. Di samping sulit seleksi, juga sulit karena mahalnya.

    Maju terus pak Daniel.
    Tuhan memberkati!

  4. Daniel Rosyid

    Yth. Prof. Sapto,
    Terimakasih atas komentar masukan Bapak.
    Model Bisnis baru universitas yang saya maksud akan mendorong PTBMHN menjadi semakin meritokratik, karena penerimaan tidak akan ditentukan oleh kemampuan finansial calon mahasiswa, namun menjamin keberlangsungan finansial PTBMHN tersebut. Saya berpendapat, program akademik di PT memang harus amat selektif, dan mereka yang tidak mampu harus
    diberi jalan keluar melalui pendidikan vokasional
    yang bermutu juga. Ini berarti, kita butuh semakin
    banyak politeknik.
    Demikian, matur nuwun.
    Tuhan memberkati Bapak.
    regards,
    Daniel Rosyid

  5. yogi pramadhika

    assalamualaikum Pak!

    sungguh sangatlah bangga saya yang merupakan mahasiswa ITS
    apalagi saya di jurusan teknik kelautan.
    yaitu dosen saya Bapak Daniel M Rosyid menjadi calon rektor UI.
    sangat sepakat sekali, ketika berbicara pendidikan di Indonesia sekarang
    bukanlah saatnya mengagungkan arogansi,baik dari asal institut maupun golongan, siapapun yang kompeten, dan capable tentu berhak turut serta.

    kepada Pak Daniel, semangat pak!!!
    semoga ALLAH senantiasa bersama hambanya yang bertaqwa.
    tapi jangan lupa bahwa bapak pernah “dibesarkan di ITS” ya pak.
    pokoknya sok atuh pak!

    kepada mahasiswa UI yang membaca, janganlah khawatir jika pak Daniel terpilih.
    saya adalah mahasiswa didiknya, yang tentu sudah sedikit mengenalnya,
    beliau merupakan sosok yang sangat peduli dengan pendidikan.
    sosok ayah yang baik.
    pengalaman beliau menjadi ketua dewan pendidikan jawa timur telah sedikit menjadi bukti bahwa prestasinya sudah dipercayai oleh banyak kalangan.
    suasana bersama beliau di bangku kuliah sangatlah santai, namun begitu berarti.
    materi yang sulit tak terasa menjemukan.
    mekanika teknik III yang sepertinya lebih kompleks dari persoalan bangsa.
    dan terkadang ujiannya yang hanya 2 soal saja dikerjakan dalam waktu 2.5 jam tak selesai. wuah…sulit buanget… ^-^

    namun terlepas dari pada itu saya pribadi memandang pak Daniel sangatlah pas untuk mengabdi lebih jauh lagi, lebih bermanfaat, berkontribusi, dan berprestasi…
    sekali lagi semangat ya pak, tak perlu ragu walau saingan orang “pribumi” UI sendiri.

    98% saya dukung bapak menjadi rektor ui
    yang 2% saya merasa kehilangan seorang dosen yang seperti pak Daniel.
    pak, dosen kelautan semakin sedikit saja lho!
    semoga berkurangnya dosen-dosen kelautan takkan mengurangi kualitas dari pendidikan di teknik kelautan itu sendiri.

    mhon maaf jika ada salah kata,

    wassalamualaikum wr.wb

    yogi pramadhika Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Kelautan FTK-ITS 2007/2008

  6. hastadi

    sampai saat ini, kadang saya masih kebingungan dengan rangkaian kata pak daniel kalo on air, bukan berarti mbulet, tapi mencari rangkaian sisi persinggungan dengan masyarakat luas, yang belum tentu ngeh pada paradigma pendidikan saat ini, Tahunya mereka cuman sekolah thok, trus kerja, dst dst…
    saya banyak ambil uswah dari pak daniel, walau hanya mendengar secara on air, bahkan rekaman2nya yg saya unduh dari online site radio itu.
    Selamat berjuang bagi yang terbaik, pak…
    Beri kami tuntunan dengan contohmu pak

  7. abdul

    memang butuh otak cerdas untuk bisa mencerna omongan orang cerdas, bung hastadi!!!

    tapi saya rasa pak daniel kalo on air baik di tv maupun radio selalu menyampaikan dengan bahasa indonesia yang baik dan benar kok, bukan bahasa daerah tertentu, atau bahasa asing, yang tentu saja beliau juga sangat mahir beberapa bahasa asing..

    pak daniel juga tipe dosen yang sangat dekat dengan siapa saja, ketemu di jalan saja beliau gak segan buka kaca mobil dan ucapkan salam duluan ke kita..

    dulu sewaktu beliau masih menjadi PR.4 ITS juga mudah diajak kerjasama, gak seperti jajaran rektor ITS yang sekarang ini, suka mematikan kreativiatas mahasiswa. gerak dikit aja sudah ditekan!!!

    semoga pak daniel selalu sehat dan diberkahi ALLAH.. aamiin..

  8. marmotji

    terimakasih sarannya untuk selalu berusaha cerdas. Mas Abdul. Tapi sayangnya saya memang salah satu rakyat yang punya kecerdasan tidak seberapa. Terimakasih atas pengetahuan anda tentang otak saya.

  9. khilmi

    assalamualaikum

    salam hormat dari saya pak Daniel.

    Saya mahasiswa Unair dan saya juga mengemban amanah sebagai ketua komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) airlangga Unair.

    apabila diperkenankan saya ingin sekali mohon bimbingan bapak untuk membimbing kami di IMM. sebab arah tujuan IMM Unair lebih pada peduli pendidikan.

    Terima kasih

    wassalam

    Khilmi

  10. Hartono Muhammad

    Kok dosen saja cerita kegagalan lebih banyak dari keberhasilan. Lah bagaimana dengan anak didiknya ?
    Minder
    Rendah diri
    Frustasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *