Pengorbanan di Zaman Edan

PENDAHULUAN

Melampaui dekade pertama Abad 21, saat ini kita menghadapi tumpukan persoalan domestik yang tak kunjung selesai, serta lingkungan global yang tidak menentu. Sementara demokrasi menumbangkan rezim otoriter di Mesir, Tunisia, dan Libya,  demokrasi prosedural di Indonesia gagal merekrut pemimpin yang amanah, kemudian desentralisasi gagal membawa janji kesejahteraan masyarakat di daerah. Pendidikan nasional juga gagal menyediakan warga negara yang sehat, produktif, dan berbudaya. Di tengah krisis lingkungan hidup akibat pemanasan gobal yang ditingkahi oleh krisis keuangan global dan krisis kapitalisme Barat saat ini, bangsa Indonesia mungkin bisa memetik hikmah Iedul Qurban untuk merumuskan sikap solutif.

Beberapa tokoh menyebut keadaan ini sebagai zaman edan, sebuah zaman di mana jika kita tidak ikut edan kita bakal tidak kebagian “kue” pembangunan. Di tingkat nasional, kue pembangunan ini biasanya diambil dari APBN/APBD yang dikorupsi melalui berbagai macam cara. Kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi masalah yang serius. Banyak pengusaha yang ternyata kekayaannya diperoleh melalui “pembocoran” APBN/APBD ini. Kapitalis palsu ini lazim bekerjasama dengan para profesional yang “bisa dibeli” di lingkungan birokrasi dan swasta, seperti para insinyur, arsitek, dan akuntan. Kemudian situasi diperparah oleh perilaku polisi, jaksa, hakim, dan pengacara yang tidak profesional yang meramaikan pesta bancakan APBN/APBD ini. Akhirnya pelayanan publik terbengkalai, wong cilik terlantar.

Di dunia pendidikan, sekolah gagal membangun masyarakat yang memiliki budaya membaca yang sehat sebagai syarat menjadi masyarakat yang maju dan produktif. Masyarakat yang tidak membaca ini menjadi korban empuk pornografi. Banyak guru bahkan melakukan banyak  tindakan tercela dengan menjual bocoran ujian, menjadi joki saat ujian, atau memberi les berbayar di luar sekolah agar nilai muridnya menjadi lebih tinggi. Lebih buruk lagi, kejujuran dilecehkan dan direndahkan bahkan sejak pendidikan dasar, sekedar untuk memperoleh kelulusan ujian ! Bahkan guru mengikuti banyak seminar dan workshop abal-abal untuk memperoleh sertifikat aspal demi lulus sertifikasi dengan harapan memperoleh tunjangan profesi guru.

Desentralisasi yang semula diharapkan mendekatkan pemimpin lokal pada masyarakat pemilihnya untuk memberi pelayanan publik yang bermutu, justru menjadikan jabatan politis yang direbut sebagai kesempatan untuk melakukan pembocoran APBD. Ini sebagian disebabkan oleh biaya politik yang tinggi, sehingga setelah terpilih, para pejabat politik tersebut disibukkan oleh upaya-upaya koruptif. Oleh karena itu banyak Bupati dan Walikota, serta anggota DPR/D yang kemudian dipenjara dalam beberapa tahun terakhir ini. Para pejabat juga berpikir jangka pendek “lima-tahunan”, tidak mampu berpikir jangka panjang, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi lingkungan dan penelantaran pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Di tingkat masyarakat, berkembang budaya rebutan dan srobotan : mengambil dulu, lain-lain urusan belakangan, bukan budaya saling memberi dan mendahulukan liyan. Hak pribadi lebih dikemukakan daripada kewajiban pada orang lain.  Masyarakat tidak mau antri, rebutan masuk maupun rebutan keluar. Bahkan saat keadaan darurat, rebutan keluar dari ruang yang terbakar telah menyebabkan tragedi : mati karena terinjak-injak, bukan karena terbakar.

Di tingkat global, kita masih menyaksikan perilaku adigang-adigung-adiguna kekuatan superpower  yang dengan gampangnya melakukan invasi ke Afghanistan, Iraq, lalu Libya. Ketiga Negara dengan mayoritas muslim itu, dengan kekayaan sejarah peradaban yang tiada tara, telah dihancurkan dalam waktu relatif pendek, seringkali dengan motif penguasaan sumberdaya minyak yang kapitalistik dan ekspolitatif, namun dibungkus dengan slogan demokrasi ! Penjajahan semacam ini sama saja dengan mencuri hak bangsa lain, sebuah korupsi global yang dilakukan melalui perang, ditambah dengan rekayasa keuangan di pasar-pasar finansial.  PBB –sebagai konsep menjiplak Hajj- boleh dikatakan mandul tak berguna untuk menghentikan eksploitasi sebagian bangsa terhadap bangsa yang lain.

Pada saat kita memperingati Iedul Qurban  di sini dengan menyembelih hewan kurban, jutaan saudara muslim kita di Mekkah sedang melakukan prosesi hajj sebagi simbol peneladanan Nabi Ibrahim as yang telah “mengorbankan” anaknya, Ismail. Hajj sekaligus juga melambangkan kehidupan sederajad di depan Allah Tuhan YME apapun warna kulit dan latar belakang ekonomi dan politik seseorang.  Yang membedakan derajad seseorang dari yang lain hanya derajad taqwanya. Kita berharap saudara-saudara muslim kita tersebut beroleh hajjan mabruuran.  Apa yang bisa kita petik sebagai hikmah dari peristiwa simbolik ini bagi kita yang hidup di zaman edan ini ?

PENGORBANAN, KREATIVITAS, DAN KEEDANAN

Banyak hal yang penting dalam kehidupan, termasuk konsep pengorbanan, kita merupakan hasil kreatifitas. Bahkan kemakmuran sebuah masyarakat lebih ditentukan oleh kreatifitasnya, bukan oleh kekayaan alamnya. Pengorbanan jelas merupakan konsep yang sulit dipahami tanpa kemampuan imajinasi dan berpikir abstrak ini.  Sulit memahami pengorbanan tanpa kreatifitas. Kreatifitas (dan kecerdasan majemuk) –lazim disebut fathonah– merupakan fitrah, karakter,  jati diri, kita sebagai manusia – disamping amanah (dipercaya), shiddiq (jujur), dan tabligh (peduli/komunikatif). Bahkan tujuan negara yang terpenting adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Pengorbanan” juga bisa dipahami sebagai sindiran Allah swt Tuhan YME –pemilik alam semesta ini- pada manusia –yang adanya diadakan oleh Tuhan sendiri. Pengorbanan terbesar adalah pengorbanan ego atau keakuan. Itu adalah harga yang harus dibayar orang2 beriman untuk memperoleh “al jannah”, kehidupan surgawi [At taubah : 111]. Sementara tubuh dan raga akan kembali ke tanah, ego itulah yang ditagih untuk dikembalikan kepada pemilik-Nya. Godaan iman yang terbesar memang saat ego merasa mampu menjadi Tuhan. Penjajahan nafsu bendawi sudah dipatahkan melalui puasa, sedangkan penjajahan ego harus dikalahkan melalui pengorbanan (penyembelihan diri).

Ke-edan-an dengan demikian adalah lupa diri, kehilangan jati diri  sebagai makhluq yang amanah, jujur, cerdas, dan peduli,  kemudian mengarah pada penuhanan pada benda atau pada diri sendiri. Ke-edan-an dimulai dengan melupakan Allah swt sebagai al Khaaliq, kemudian berakibat pada melupakan diri sendiri [Al Hasyr :19].  Ini adalah sebuah kebodohan : tidak amanah, tidak jujur, tidak cerdas atau kreatif, dan tidak peduli. Pembodohan ini menggerus fithrah manusia sebagai mahkluq.

Dalam perspektif bermasyarakat, maka proses kreatif adalah upaya untuk melakukan evaluasi diri secara terus menerus, keberanian meninggalkan aspek-aspek negatif budaya sendiri, dan mengambil aspek-aspek positif budaya dunia –seperti Islam-, serta  mengambil keputusan atas postur budaya sendiri dengan penuh tanggungjawab. Di tingkat kreatifitas bangsa, masyarakat atau bangsa Eropa adalah contoh mutakhir yang dapat kita lihat. Kegagalan menyepakati sebuah Konstitusi Eropa yang efektif untuk menghadapi krisis keuangan saat ini  membawa “bangsa Eropa” mempertanyakan kembali jati dirinya.

Proses globalisasi yang tidak seimbang saat ini telah menyebabkan bangsa-bangsa dunia ketiga dalam posisi sulit dalam rangka mempertahankan jati dirinya. Karena globalisasi adalah sebuah proses penaklukan budaya, upaya mempertahankan jati diri ini adalah mekanisme melestarikan diri sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang takluk secara budaya, disukai atau tidak, akan mengambil budaya penakluk tersebut tanpa melalui sebuah proses kreatif.

Pendidikan dapat dipahami sebagai upaya sadar untuk sembuh dari ke-edan-an, membangun jati diri sebagai kapasitas kreatif bangsa. Kreativitas sebuah bangsa merupakan aspek terpenting dari bangsa tersebut karena, pertama, bangsa adalah sebuah komunitas yang diimajinasikan. Perlu segera dikatakan, bahwa jati diri bangsa hanyalah atribut  yang dilekatkan secara konsensus oleh bangsa tersebut. Kedua, pendidikan adalah upaya mengantar peserta didik ke masa depan yang penuh gejolak, ketidakpastian, dan ketidakjelasan. Hanya bangsa kreatif yang akan mampu bertahan, dalam arti menemukan jati dirinya, dalam lingkungan tidak pasti, dan tidak jelas tersebut.

Peran kreatif manusia harus dipandang sebagai peran utamanya sebagai makhluk sejarah. Sejarah (his-story) adalah kisah upaya kreatif manusia dalam menjawab tantangan hidup. Pertanggungjawaban yang kita tagih pada setiap manusia mensyaratkan bahwa manusia kita beri kewenangan kreatif. Menjadi kreatif berarti mengambil keputusan untuk bertanggungjawab. Kewenangan kreatif ini dipijakkan pada kapasitas kreatifnya, yaitu : 1)Kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan, termasuk “pasar” yang dilayaninya, 2) Kesanggupan untuk melayani orang lain secara tidak diskriminatif, 3) Kejujuran untuk melakukan evaluasi diri secara terus menerus, 4) Kekayaan imajinasi untuk menyediakan alternatif pemecahan masalah, 5) Kecerdasan untuk menilai kelayakan rumusan pemecahan masalah tersebut, 6) Keberanian untuk memilih pemecahan masalah dengan penuh tanggungjawab, 7) Ketrampilan untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut secara etis, terutama dalam sebuah lingkungan yang majemuk. Ke-tujuh kewenangan kreatif ini merupakan “jalan pengorbanan”.

KEPEMIMPINAN KREATIF

Di samping kapasitas kreatif adalah pondasi kepemimpinan, ia lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, moral, spiritualnya. Memimpin pada dasarnya adalah memilih pilihan-pilihan moral, dan memberi teladan memilih jati diri yang otentik, apapun pengorbanan yang harus ditempuh. Kecerdasan akal (IQ) yang bersifat analitik, vertikal-sikuensial, dan crispy, hanya menyusun kurang dari 20 persen kapasitas kreatif manusia. Pemujaan berlebihan pada kompetensi kognitif, sains, dan matematika selama ini, telah memberi gambaran yang keliru mengenai kompetensi yang perlu ditumbuhkembangkan bagi warga negara. Ditambah dengan proses pembelajaran yang tidak berpusat pada siswa, kapasitas kreatif siswa menjadi tidak berkembang secara optimal, bahkan justru dimatikan.

Ciri terpenting masa depan adalah ketidakpastian dan ketidakjelasannya. Jika pendidikan adalah pengantar ke masa depan, maka sekolah seharusnya merupakan sebuah training ground penyikapan secara sehat ketidakpastian dan ketidakjelasan tersebut. Pembelajaran kontekstual, memberi tantangan intelektual, emosional, moral cukup, merupakan lingkungan kondusif bagi penumbuhan kapasitas kreatif siswa. Ketidaktuntasan penyelesaian bertumpuk masalah kita dalam periode reformasi saat ini sebagian besar disebabkan sikap tidak kreatif para pemimpin formal birokrasi yang lamban dan indecisive.

Ciri pemimpin yang tidak bertanggungjawab  adalah kegemaran mengatakan “saya hanya pelaksana, bertindak mengikuti petunjuk pelaksanan dari atasan saya”, seolah-olah mereka hanyalah sebuah tombol yang ditekan secara “remote control” dari Jakarta. Oleh karena itu, guru sebagai pemandu siswa ke masa depan, perlu memiliki kompetensi in-promptu untuk mengembangkan pengalaman belajar bermakna secara inovatif dan luwes. Guru yang menggantungkan diri pada “juklak dan juknis rinci” dari “atas” sehingga tidak perlu melakukan interpretasi –dan oleh karenanya tidak bertanggungjawab- (apalagi kelulusan siswanya ditentukan oleh Ujian Nasional) bukanlah guru kompeten untuk  mengembangkan kapasitas kreatif anak didik.

Kapasitas kreatif juga ditunjukkan oleh kemampuan berpikir secara sintetik, lateral-paralel, dan fuzzy. Kapasitas kreatif yang rendah bangsa Indonesia sebagian ditunjukkan oleh statusnya sebagai konsumen sains dan teknologi. Perlu dicermati juga, bahwa kapasitas kreatif ini merupakan  penyusun modal buatan bangsa ini. Ketergantungan pada modal alamiah merupakan bukti langsung betapa kapasitas kreatif bangsa ini tidak berkembang, sehingga kemakmurannya diperoleh dengan cara melakukan eksploitasi kekayaan alamnya, bukan melalui proses nilai tambah yang berbasis pengetahuan,  teknologi, dan seni.

 

IMPLIKASI PENDIDIKAN

Mengembangkan kapasitas berkorban dan kepemimpinan warga dalam rangka penyembuhan dari ke-edan-an harus dipijakkan pada upaya menjadikan peserta didik sebagai pembelajar dengan memberi kesempatan pada warga muda ini untuk mengalami proses pembelajaran tuntas. Belajar adalah sebuah proses memaknai praktek/pengalaman, maka proses belajar adalah sebuah siklus “praktek-baca-tulis-bicara” (lihat gambar 1). Seseorang bisa disebut telah belajar bila mampu membuat narasi/kisah tentang “aku” dan alam serta peristiwa di sekitarnya sebagai sebuah pengalaman yang bermakna. Konsep diri “aku” ini penting untuk ditumbuhkan sebagai benih jati diri peserta didik. Ke”aku”an peserta didik bertumbuhkembang secara sehat melalui tiga siklus berikut ini :

              Praktek ? Baca                  Bukti   ?  Cari                     Dipercaya ? Jujur          

                 ­                 ¯         Þ           ­             ¯           Þ            ­                  ¯

               Bicara ¬  Tulis                   Sebar ¬ Tegak                  Peduli   ¬   Kreatif

 

                      Gambar 1. Siklus Belajar, Siklus Kebenaran, dan Siklus Karakter

Ketiga siklus di atas perlu dipahami sebagai sebuah kesatuan. Siklus belajar juga menunjukkan peran praktek sebagai pembentuk jati diri mu’min yang senang berbuat. Namun praktek mu’min dipijakkan pada ilmu yang diperoleh dari membaca dan menulis. ‘Amalan shaalihan merupakan buah dari siklus belajar, siklus kebenaran, dan siklus karakter.

Dalam perspektif kebenaran sebagai nilai universal, belajar adalah proses membuktikan, mencari, menegakkan, dan menyebarkan kebenaran.  Cinta kebenaran adalah jalan untuk mendekati Allah swt (taqarub ila Allah). Siklus kebenaran ini jika dibiasakan seiring dengan siklus belajar, selanjutnya akan membentuk karakter dipercaya, jujur, cerdas-kreatif, dan peduli pada peserta didik. Dengan demikian, mendidik dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran, serta menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai bukti iman. Sejarah menunjukkan bahwa kesetiaan pada kebenaran harus dibayar mahal sebagai ujian beriman. Dengan kata lain, mendidik adalah menumbuhkembangkan kesediaan berkorban demi kebenaran.

Dalam praksis pendidikan saat ini, siklus belajar, siklus kebenaran dan siklus karakter ini tidak banyak terjadi, sebagian disebabkan karena sekolah bukan menjadi ruang ekspresi peserta didik yang longgar. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar, bukan jawaban yang jujur dan bebas dari murid-muridnya. Dengan target konten seberat saat ini, baik peserta didik maupun guru/dosen hanya tertarik dengan aspek-aspek kognitif –analitik peserta didik, sehingga tidak terjadi pembelajaran tuntas dan mendalam. Pembelajaran semakin bersifat informasional, namun miskin praktek. Dengan koleksi perpustakaan dan terbatasnya akses internet,  peserta didik dan guru tidak terdorong untuk membangun budaya membaca, menulis, dan berdiskusi, serta melakukan pembelajaran  inquiry, tapi lebih tertarik pada hasil proses yang telah disediakan. Proses individuasi pengetahuan tidak terjadi, sehingga peserta didik akan segera “melupakan” materi begitu semester berganti. Sistem evaluasi hampir selalu evaluasi tertulis, bahkan pilihan berganda, yang analitik dan reduksionistik. Pengembangan kemampuan-kemampuan sintetik, dan lintas-disiplin, bekerja dalam kelompok tidak berkembang, karena ini “mempersulit” peserta didik dan guru sendiri. Harus juga dikatakan, bahwa guru dan dosen tidak terbiasa untuk memberikan tantangan intelektual yang cukup, materi kuliah dan ujian yang tidak banyak perubahan dan pemutakhiran, sehingga berkembang budaya “baceman” di kalangan mahasiswa.

Sekolah dan kampus perlu mendisain ulang kurikulumnya menjadi tidak padat konten seperti sekarang  dengan jumlah mata sajian  yang terlalu banyak (lebih dari 6). Beban yang lebih peka karakter adalah 12 sks dengan jumlah mata sajian 3 atau 4 saja perminggu, sehingga pendalaman materi dan pengembangan karakter memperoleh porsi perhatian, dan alokasi sumberdaya yang lebih memadai. Model evaluasi hendaknya lebih multi-ranah, kualitatif, dan mendorong proses pembelajaran tuntas. Rezim pilihan-berganda dalam evaluasi belajar harus ditinggalkan karena mematikan pembudayaan membaca, menulis, dan berbicara.

PENUTUP

Upaya sembuh dari ke-edan-an dapat dilakukan dengan membangun siklus belajar yang mengembangkan kapasitas kreatif dan karakter peserta didik sebagai warga negara dan pemimpin masa depan. Ini telah diteladankan oleh Nabiyullah Ibrahim dan Ismail. Pendidikan yang membangun kapasitas kreatif ini akan menentukan kemampuan warga negara untuk menemukan jati dirinya sendiri sebagai bagian dari proses konsensus bangsa ini sebagai sebuah komunitas yang diimajinasikan. Bangsa yang memiliki jati diri adalah bangsa yang warga negaranya memiliki jati diri, bukan warga negara yang edan, yang dijajah oleh kuasa bendawi ataupun kuasa ego.

Di tingkat global, warga dunia yang dilahirkan dari proses pembelajaran berkurban adalah warga yang sanggup mempelopori kehidupan lintas-negara yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan mencegah penjajahan yang didorong oleh nafsu bendawi dan ego-etnosentrisme sebagai Tuhan-tuhan baru. Sebagaimana dikhutbahkan oleh Rasulullah pada saat Hajj al wada beliau, prosesi Hajj merupakan forum politik internasional di mana kerjasama antar-negara yang sederajad diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi berbagai macam krisis kemanusiaan saat ini yang sesungguhnya merupakan akibat dari sikap menyekutukan Allah swt (syirk).  Akhirnya, proses penyembuhan dari keedanan ini merupakan sebuah proses pengorbanan melalui sebuah proses belajar yang menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran, dan menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai bukti iman.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *