Reposisi PTBHMN : Model Bisnis Berbasis CSR

Sejak 4 perguruan tinggi ternama Indonesia, yaitu UI, IPB, ITB, dan UGM, berubah statusnya menjadi PTBHMN, mahasiswa di kampus-kampus terkenal tersebut mulai mengeluhkan kenaikan biaya kuliah mereka. Jargon para mahasiswa tersebut adalah bahwa PTBHMN merupakan sebuah bentuk privatisasi kampus, sehingga hanya mereka yang berduit yang bisa kuliah. Bahkan ada tuduhan yang lebih serius : ini merupakan bentuk neo-liberalisasi pendidikan di Indonesia. Mahasiswa bahkan banyak menuntut pendidikan gratis hingga tingkat universitas, karena adalah tugas konstitusional Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kesan dan tuntutan seperti ini bisa dipahami, walaupun dipijakkan pada argumen yang keliru. Pertama harus dikatakan bahwa pendidikan gratis –dalam arti dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah- hanyalah layak untuk pendidikan dasar (paling tidak yang 9 tahun, lebih bagus lagi bila dimasukkan juga di sini pendidikan menengah 3 tahun – setingkat SMU/MA). Pendidikan dasar ditujukan memang untuk memberikan bekal dasar agar warga negara dapat secara efektif memberi kontribusi positif dalam pembangunan. Di samping itu, dalam pendidikan dasar, yang dikembangkan adalah kompetensi-kompetensi dasar, bukan kompetensi-kompetensi pilihan yang khusus. Pendidikan semacam ini memang selayaknya sepenuhnya ditanggung oleh negara. Kelompok warga negara kaya yang menuntut layanan pendidikan yang “lebih” silahkan dilayani oleh swasta.

Namun untuk pendidikan tinggi yang mengembangkan kompetensi-kompetensi pilihan yang khusus, argumen ini tidak berlaku. Kriteria masuk di perguruan tinggi harus dipijakkan pada merit dan kemampuan, sehingga harus melalui mekanisme seleksi, terutama jika bidang-bidang keahlian tertentu diminati banyak orang. Di Jerman, pendidikan tinggi dipikul biayanya oleh Pemerintah, namun tidak banyak orang Jerman yang berminat belajar hingga pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena pendidikan menengah mereka bermutu tinggi sehingga cukup memberi bekal bekerja dengan gaji yang layak. Di samping itu, Pemerintah Jerman tahu, kira-kira hanya 20% lulusan SMU yang layak melanjutkan ke jenjang pendidikan sarjana. Pemerintah Jerman selanjutnya merancang pendidikan menengah berorientasi ketrampilan vokasional untuk 80% murid SMU.

Perguruan Tinggi di Indonesia, seperti juga sekolah-sekolahnya, jelas-jelas under-funded. Gaji seorang professor dengan golongan tertinggi tidak lebih dari Rp. 3 juta/bulan, jauh lebih kecil dibanding seorang lulusan baru yang bekerja di perusahaan swasta besar, BUMN, apalagi perusahaan asing. Banyak dosen harus mengajar kesana kemari untuk menambah penghasilannya, sehingga tidak sempat melakukan penelitian, dan program pascasarjana perguruan tinggi tersebut terbengkalai. Peringkat perguruan tinggi di Indonesia dalam 500 universitas terbaik di dunia berada di papan bawah, kecuali ITB dan UI.

Tentu saja rektor yang bertanggungjawab tidak bisa membiarkan diri kampusnya kumuh, dengan cat yang mengelupas, utilitas yang bocor di sana sini, dan staf-staf nya terbaiknya keluyuran di luar kampus untuk mencari berbagai macam proyek. Rektor dipaksa untuk melakukan akrobatik keuangan agar memperoleh sumber-sumber pembiayaan baru untuk “menembel” kekurangan anggaran dari Pemerintah. Oleh karena itu, solusi standar yang banyak dipakai oleh PTBHMN adalah membuka jalur-jalur seleksi baru yang dapat dihargai (priced) secara berbeda bagi segmen pasar calon mahasiswa (terutama mahasiswa sarjana) yang berbeda-beda, seringkali tanpa mengurangi daya tampungnya. Melalui cara ini terbukti PTBHMN berhasil menaikkan pendapatannya secara mencolok. Akibatnya adalah banyak perguruan tinggi swasta yang mengalami krisis kekurangan mahasiswa, dan terancam kebangkrutan.

Solusi ini jelas tidak sustainable, apalagi jika perguruan tinggi mengemban misi penelitian yang mengharuskan pengembangan pendidikan pascasarjana. Untuk itu, diperlukan sebuah model bisnis baru yang lebih inovatif untuk menjawab tantangan kerberlanjutan keuangan, sekaligus menjadi universitas riset. Strategi alternative yang lebih sustainable adalah 1) mengembangkan kemitraan strategis dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat, 2) melakukan integrasi vertikal, dalam arti memperkuat pendidikan pascasarjana, dan 3) diferensiasi program pendidikan. Program kemitraan strategis ini akan menjadi entry point bagi 2 strategi lainnya.

Program kemitraan strategis ini dipijakkan pada prakarsa mitra strategis universitas untuk mengembangkan strategic and philanthropic Corporate Social Responsibility-nya dan diintegrasikan dengan kapasitas perguruan tinggi untuk menyediakan pendidikan, pelatihan, dan penelitian bagi kebutuhan personil dan inovasi mitra strategis tersebut. Untuk sebuah pendidikan yang bermutu klas dunia, daya tampung pendidikan tidak bisa dinaikkan tanpa batas, namun perlu dibatasi pada tingkat yang layak untuk pengembangan kapasitas penelitian perguruan tinggi yang bersangkutan. Ini berarti, program-program pendidikan yang menyerap banyak tenaga dosen harus dikurangi, sementara program-program pendidikan berbasis penelitian (pendidikan pascasarjana) perlu dinaikkan. Diharapkan, proporsi mahasiswa S1/S2/S3 mencapai 3/2/1. Biaya pendidikan sebagian besar mahasiswa ini akan dipikul oleh para mitra strategis universitas, dan atau melalui sebuah skema kredit bank. Mahasiswa yang mampu akan didorong untuk menjadi calon pengusaha muda dan membiayai pendidikannya secara mandiri.

Selanjutnya, perguruan tinggi bersama mitra strategisnya perlu merumuskan sebuah Program Utama Riset Universitas berperspektif, paling tidak, jangka menengah (5 tahun) yang benar-benar mencerminkan kebutuhan penelitian dan pengembangan para mitra tersebut. Universitas dapat mengembangkan program Profesor Industri atas biaya para mitra ini. Selanjutnya program riset ini diterjemahkan dalam program pendidikan pascasarjana. Rekrutmen mahasiswa pascasarjana juga dilakukan secara kolaboratif dengan mitra strategis universitas tersebut.

Untuk pendidikan sarjana dapat dilakukan diferensiasi sebagai berikut. Rekrutmen dan pendidikan mahasiswa sarjana dilakukan bersama para mitra strategis universitas. Pada tahap awal pendidikannya, setiap mahasiswa, apapun jurusannya, diminta menentukan 1) mengikuti jalur pendidikan professional dengan employability yang tinggi, atau 2) mengikuti jalur pendidikan entrepreneur sebagai calon pengusaha muda dengan bankability yang tinggi. Rekrutmen personil mitra strategis akan semakin meyakinkan (tidak seperti pola rekrutmen konvensional melalui serangkaian test seleksi yang mudah disiasati), sementara semakin banyak mahasiswa yang menyelesaikan pendidikannya tepat waktu.

Selanjutnya, dengan pricing policy yang tepat untuk program pendidikan sarjana dan pascasarjana tersebut, keberlanjutan keuangan universitas dapat lebih dijamin tanpa mengorbankan misi menjadi universitas riset. Model bisnis baru PTBHMN berbasis strategic CSR ini akan menghindari kesan seolah perguruan tinggi hanya bagi mereka yang berduit. Bahkan, PTBHMN akan semakin mudah untuk menarik calon mahasiswa yang paling berbakat.

Comments

  1. Muhammad Rizki

    Ide yang bagus pak. Tapi nantinya Bapak juga perlu melihat seperti apa benturan antara biaya kuliah yang sebagiknya semurah mungkin dengan kesejahteraan dosen karyawan yang sebaik mungkin agar mereka bisa profesional. Selama ini kedua hal itulah yang berbenturan dalam kampus BHMN dimana subsidi sudah dikurangi dari pemerintah.

    Terima kasih pak.

  2. Daniel Rosyid

    Terimakasih Sdr. Rizki dan Pak Sulfikar Amir.
    Pada tahap ini saya hanya melihat bahwa pemilihan rektor UI bukan isu internal UI, namun merupakan isu nasional. Tidak cukup UI hanya menjadi world-class enterprising research University, namun UI juga mengemban tugas
    ke-Indonesiaan, sebagaimana melekat pada namanya, yang perlu ditunjukkan dalam program pendidikan dan penelitiannya.
    Daniel

  3. Hermien R.Sarengat

    Dear pak Daniel,
    good thought pak !!
    Saya senang melihat Daniel memicu adrenalinnya diluar lingkungan ITS dan ini menunjukkan anda berani “Do bravely and differently” sekaligus berani membagi ilmu sekaligus melihat issue & opportunity kasat mata bisa diselesaikan apabila kita bersama.. Believe you are able to do. You got my support pak !!

  4. Daniel Rosyid

    Sdr. Arul, patut disesalkan memang kalau PTN/PTBHMN masih menggunakan old business model yang membebankan biaya pendidikan pada mahasiswa.

    My new business model for UI akan membebankan biaya pendidikan BUKAN pada mahasiswa, tapi pada mitra strategis UI yang akan memanffaatkan lulusan2 UI. Namun demikian, tuntutan saya pada mahasiswa UI juga akan tinggi. Intinya, mahasiswa dan dosen akan “membayar” dengan bekerja dan belajar lebih keras lagi.

    Mahasiswa yang belajar “sak enake dhewe” tidak akan ada yang mau membiayai, harus membiayai sendiri dengan mahal sekali. Tidak ada “makan siang gratis” di permukaan planet ini.

    Wassalam.
    Daniel

  5. anton

    wah.. lalu apa komentar pak daniel kalo ada mahasiswa yang kuliah santai sampai 14 semester, nilai juga pas-pasan?

    tapi di luar kampus dia sudah membangun jaringan bisnisnya?

    bagus mana mahasiswa tepat waktu tapi nganggur lama apa kuliah lama tapi begitu lulus langsung mandiri?

    fenomena ini banyak terjadi di kampus manapun. tentunya dari pemikiran pak daniel tentang “new model”, hanya mahasiswa yang secara akademik bagus saja yang akan keserap industri yang telah membiayai mereka. lalu yang lain akan dikemanakan pak? apa kampus hanya akan mengakui lulusannya yang nilai akademisnya bagus2 saja? sedangkan seperti kata pak daniel di beberapa media, bahwa akademis saja gak cukup, tapi perlu melihat kompetensi lain..

  6. Pujihandi

    Kami mengenal Pak Daniel sebagai pendidik yang sangat peduli dengan pengembangan SDM yang mengedepankan teknologi dan moralitas. Mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan cita-citanya untuk berkiprah menjadi Rektor UI. Pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan yang dibidani ekonom-ekonom UI pada masa Orde Baru merupakan hutang UI pada bangsa Indonesia untuk diperbaiki di masa mendatang agar bangsa Indonesia benar-benar hidup dalam suasana aman, damai, adil dan sejahtera. Kami yakin, Pak Daniel dapat mengemban tugas berat tersebut bila nanti terpilih menjadi rektor UI.

  7. Nurhadi

    Kalau nanti Bung Daniel menjadi rektor UI, jangan lupa membawa UI untuk memikirkan nasib orang miskin. Bagaimana caranya agar orang miskin tidak hidup menderita, walaupun orang miskin ada di mana-mana? Kami bersama Bung Daniel punya pengalaman menangani kemiskinan di Jawa Timur melalui Program Aksi Mengatasi Dampak Kenaikan BBM dan Kemiskinan (PAM-DKB) tahun 2006 yang mendapat sambutan luas di desa-desa. Bung Daniel menjadi pendamping propinsi dan saya pendamping kabupaten. Namun sayang, PAM-DKB tak bisa dilanjutkan pada tahun 2007 karena Partai Golkar Jawa Timur menolak mati-matian program tersebut. Mudah-mudahan kalau Bung Daniel menjadi rektor UI, pengalaman PAM-DKB bisa dijadikan pengalaman untuk membawa UI dapat memikirkan nasib orang miskin.

  8. Haryadi

    Kami bergembira Bang Daniel maju menjadi calon rektor UI. Mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan keinginan tersebut. Kami sudah lama mengikuti pemikiran-pemikiran Bang Daniel melalui berbagai seminar dan tulisan-tulisannya di media massa. Bang Daniel punya kapasitas yang memadai untuk menjadi rektor UI. Maju terus, pantang mundur. Tapi kalau nanti jadi rektor UI, mohon tidak lupa memikirkan nasib orang miskin seperti di saat Bang Daniel menjadi pendamping propinsi Program Aksi Mengatasi Dampak Kenaikan BBM dan Kemiskinan (PAM-DKB). Sayang program yang bagus dan disambut luas masyarakat itu ditentang habis-habisan oleh Partai Golkar tanpa mempedulikan jerit tangis kaum duafa.

  9. Ario Djatmiko

    Ass wr wb
    Saat ini mitra industri melihat kelayakan bermitra bila jelas memberi nilai tambah pada perusahaannya. Artinya Universitas harus dapat menjawab kebutuhan industri. Disisi lain universitas lain Lokal dal global juga menawarkan hal yang sama. pertanyaan saya. Bagaimana penilaian bpk keadaan UI saat ini, apakah layak bersaing? Bagaimana UI menaikkan competitive advantagenya agar menjadi universitas favorit untuk dijadkan mitra industri?

  10. Daniel Rosyid

    Terimakasih atas komentar kawan-kawan semua.
    Untuk Sdr. Anton, Seorang manajer yang baik, dan pemimpin yang visoner lazimnya memiliki time skill yang memadai, memiliki sense of urgency dan time
    sensitivity yang tinggi. Lulus tepat waktu merupakan salah satu buktinya. Sewaktu saya menjadi mahasiswa, saya aktif diberbagai macam kegiatan mahasiswa, namun lulus relatif tercepat di antara rekan2 seangkatan saya. Saya selesaikan studi Ph.D saya dalam waktu pas 3 tahun. Jadi, kita perlu mengembangkan seluruh kompetensi kita dalam waktu yang singkat, tanpa
    harus membebani APBN.

    Untuk Dr. Ario Djatmiko,
    Saya melihat kepercayaan masyarakat/dunia Industri pada UI masih tinggi. Yang menjadi
    persoalan adalah bagaimana kepercayaan ini
    tumbuh lebih besar dan tidak sisa-sia.
    Untuk itu memang profil kompetensi lulusan
    UI harus mencerminkan kompetensi yang
    membedakannya dengan lulusan PT lain, misalnya, time management skill.

    Di samping itu, agak kurang bertanggungjawab dan merugikan jika PT hanya mendidik, namun tidak “menjual” lulusannya sejak awal mereka
    diterima sebagai mahasiswa, melalui sebuah
    “rekrutmen” panjang yang meyakinkan di bawah
    bimbingan dosen-dosennya.

    PT yang baik pastilah yakin dengan kemampuan
    lulusan-lulusannya sendiri sehingga “menjual” mereka mestinya pekerjaan yang tidak saja
    alamiah, namun sekaligus bagian dari tanggungjawab PT.

    Melibatkan mitra UI sejak seleksi mahasiswa merupakan cara menjadikan mitra UI sebagai
    “ecology as strategy” bagi UI, semacam link-and-match dalam sebuah value-chain.

    Demikian, terimakasih.
    Wassalam.
    Daniel Rosyid

  11. yogi pramadhika

    assalamualaikum pak!

    sungguh senang sekali memiliki dosen yang benar-benar perhatian dengan pendidikan Indonesia.
    tentu saya sendiri menyadari mengapa banyak profesor dan pendidik (dosen) kurang care terhadap pendidikan, dan hanya disibukkan dengan rutinitas setiapa hari ditambah usaha-usaha perburuan insentif tambahan.
    hal itu dikarenakan kesejahteraan pendidik di Indonesia masih sangat jauh di bawah rata-rata.

    namun pak, saya memang masih kurang setuju dengan “mahalnya” biaya pendidikan tinggi.
    tentu telah dirasakan sekarang besarnya persaingan di dunia kerja.
    sarjana-sarjana banyak yang nganggur, apalagi yang hanya lulusan sma?
    jadi jika kita “membuat mahal” pendidikan tinggi, maka akan ‘menyumbat’ laju calon mahasiswa, dan secara tidak langsung produk pengangguran yang hanya berbekal pengetahuan sma lebih banyak lagi.

    mengutip pendapat bapak M. Nuh “pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk memutus rantai kemiskinan di Indonesia. Pendidikan akan juga mengangkat harkat, martabat seseorang tsb.”

    jangan sampai PT BHMN menjadika pendidikan tinggi hanya milik orang “ber-uang”.
    sungguh saya tau sendiri, calon mahasiswa yang dari desa (miskin) sangat bisa bersaing di ITS. teman2 saya PMDK Beasiswa dari kalangan tidak mampu, yang hanya anak seorang satpam, sopir angkot, buruh cuci baju, dll.
    IPK diatas 3.2 semua.
    sungguh jauh di banding dengan anak2 kemitraan yang banyak IKOMA (Ikatan mhs ip Satu Koma).
    banyak juga yang hampir DO.

    nah sekarang pertanyaannya,
    apakah institut lebih memilih calon mahaiswa yang kualitas “kurang baik” tapi “banyak uang”, atau calon mahasiswa yang kualitanya ‘bagus’ tapi melarat (kalau jadi BHMN, tentu mhs ini tak bisa banyak membantu Institut dlm hal biaya)

    apakah benar, “orang miskin dilarang sekolah, (kuliah)?
    dilarang oleh sistem pendidikan yang bersahabat dengan mereka.

    yogi pramadhika, *)
    *) mahasiswa teknik kelautan 2005

  12. yogi pramadhika

    assalamualaikum pak!

    sungguh senang sekali memiliki dosen yang benar-benar perhatian dengan pendidikan Indonesia.
    tentu saya sendiri menyadari mengapa banyak profesor dan pendidik (dosen) kurang care terhadap pendidikan, dan hanya disibukkan dengan rutinitas setiapa hari ditambah usaha-usaha perburuan insentif tambahan.
    hal itu dikarenakan kesejahteraan pendidik di Indonesia masih sangat jauh di bawah rata-rata.

    namun pak, saya memang masih kurang setuju dengan “mahalnya” biaya pendidikan tinggi.
    tentu telah dirasakan sekarang besarnya persaingan di dunia kerja.
    sarjana-sarjana banyak yang nganggur, apalagi yang hanya lulusan sma?
    jadi jika kita “membuat mahal” pendidikan tinggi, maka akan ‘menyumbat’ laju calon mahasiswa, dan secara tidak langsung produk pengangguran yang hanya berbekal pengetahuan sma lebih banyak lagi.

    mengutip pendapat bapak M. Nuh “pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk memutus rantai kemiskinan di Indonesia. Pendidikan akan juga mengangkat harkat, martabat seseorang tsb.”

    jangan sampai PT BHMN menjadika pendidikan tinggi hanya milik orang “ber-uang”.
    sungguh saya tau sendiri, calon mahasiswa yang dari desa (miskin) sangat bisa bersaing di ITS. teman2 saya PMDK Beasiswa dari kalangan tidak mampu, yang hanya anak seorang satpam, sopir angkot, buruh cuci baju, dll.
    IPK diatas 3.2 semua.
    sungguh jauh di banding dengan anak2 kemitraan yang banyak IKOMA (Ikatan mhs ip Satu Koma).
    banyak juga yang hampir DO.

    nah sekarang pertanyaannya,
    apakah institut lebih memilih calon mahaiswa yang kualitas “kurang baik” tapi “banyak uang”, atau calon mahasiswa yang kualitanya ‘bagus’ tapi melarat (kalau jadi BHMN, tentu mhs ini tak bisa banyak membantu Institut dlm hal biaya)

    apakah benar, “orang miskin dilarang sekolah, (kuliah)?
    dilarang oleh sistem pendidikan yang tidak bersahabat dengan mereka.

    yogi pramadhika, *)
    *) mahasiswa teknik kelautan 2005

  13. anta

    mengutip yogi pramadhika “sarjana-sarjana banyak yang nganggur, apalagi yang hanya lulusan sma?”

    wah jangan remehkan lulusan SMA bang yogi, apa anda gak tahu pengusaha besi tua madura yang omset ratusan milyar sebulan itu kebanyakan lulusan SMA, malah ada yg hanya SD aja gak lulus, bahkan ada yg gak bisa baca!

    lalu apa fungsi pendidikan kita? hanya untuk bikin CAP, lulusan ini, lulusan itu.. begitu?

    saya sangat prihatin ternyata lebih dari 75% lulusan S1 yang sudah kerja gajinya di bawah 2 jt per bulan!!!
    (data dari mana saya lupa, baca pas caru jurnal di google)

    trus yg lebih banyak lg adalah jadi pengangguran!!!

    untuk pak daniel, sudahkah bapak memikirkan solusi masalah ini? tentu kita tidak bisa berpulang ke masing2 individu, kalo banyak yang nganggur artinya sistem pendidikan kita yang salah kan?

    oia satu hal pak daniel, sudahkah bapak melihat ke kampus2 swasta? banyak lulusan mereka yang membuka usaha dan sukses, lantas untuk mencari karyawan mereka lebih memilih yang satu almamater dengan dia. kalo bapak rajin menyimak iklan lowongan, tidak sedikit yang menyertakan kata-kata: “diutamakan lulusan petra, uwm, ubaya”

    ibarat bom waktu, pada saatnya nanti ini pasti akan meledak, kemudian lulusan PTN hanya akan gigit jari.. kalo tidak mau ini terjadi segera siapkan strategi konkrit yang bisa dijalankan!

    PTN jangan hanya siapkan lulusan yang pinter akademis, tapi punya talenta dan kepekaan di bidang bisnis

  14. Daniel Rosyid

    Terimakasih Sdr. Yogi, dan Anta,

    Memang PTN harus banyak berbenah, dan mengubah model bisnisnya.
    Segera perlu dipahami bahwa mengikuti pendidikan tinggi harus berdasarkan bakat dan
    kualifikasi tertentu.

    Hanya 20% lulusan SMU yang layak melanjutkan
    pendidikan tinggi AKADEMIK (sarjana), 80%lainnya lebih cocok ke pendidikan vokasional
    (politeknik).

    Pendidikan tinggi, terutama PT teknik, harus lebih berorientasi operasi, bukan sekedar desain.
    Ini untuk meng-expose sisi-sisi bisnis dari sebuah
    pemanfaatan teknologi, dan menimbulkan minat
    wirausaha mahasiswa.

    Jadi, silahkan mengambil pendidikan tinggi, tapi
    calon mahasiswa perlu tahu diri, justru untuk kepentingan dirinya. Janganb memaksakan diri
    untuk mengambil pendidikan sarjana.
    Kita perlu politeknik jauh lebih banyak daripada saat ini.

    Saya mengajukan model bisnis baru, yaitu melibatkan mitra PT untuk melakukan seleksi mahasiswa dan ikut membiayai pendidikan dan penelitian mereka. Namun kapasitas pendidikan ini tidak besar. seleksi akan lebih ketat.

    Daniel Rosyid

  15. ano

    bapak daniel yg saya hormati, saya salah satu mahasiswa universitas indonesia, saya mendukung ide bapak untuk membiayai operasional kampus dengan menggandeng perusahaan. tentunya bapak sudah berhitung berapa besar biaya operasional kampus tersebut, dan tentunya juga persediaan/budget perusahaan untuk program corporate social responsibility tersebut. berapa persen tingkat keyakinan bapak terhadap keberhasilan program tersebut? apa yang mendasarinya? lebih fair lagi kalo bapak membeber datanya di sini biar kita sama-sama tahu dan lebih mantab lagi mendukung bapak sebagai rektor universitas indonesia

  16. yogie

    Assalamualaikum Wr.Wb
    Salam Perjuangan!!!!

    Mengutip pernyataan Bapak Daniel,bahwa “patut disesalkan memang kalau PTN/PTBHMN masih menggunakan old business model yang membebankan biaya pendidikan pada mahasiswa”

    namun tak dapat dipungkiri lagi pak, banyak Universitas mengambil pilihan itu (menaikkan biaya yang ditanggung mhs untuk kelancaran pendidikan di Institut/universitasnya).
    Dan tanpa disadari ITS telah berjalan mendekati kesana.
    belum jadi BHMN saja sudah seperti ini, apalagi kalau nantinya benar-benar jadi BHMN???
    entah bagaimana nasib Mahasiswa,
    mungkin “SAYA ADALAH MAHASISWA MISKIN TERAKHIR YANG KULIAH DI ITS”

    bapak tahu??
    PMDK Mandiri ditambah Kemitraan telah mencapai angka 26.67 % dari jumlah total PMDK yang diterima di ITS
    jalur baru khusus untuk orang-orang “berduit’
    telah dibuka dan diperluas..
    sekarang ditambah lagi naik spp 25%,

    apakah ini bukan bagian dari maaf “kapitalisme pendidikan”???(mengutip dari ungkapan salah satu dosen T.Kelautan)

    Saya tahu, bahwa pemerintah sekarang pada posisi yang sulit, hutang yang menyita prosentase yang “menggila” di APBN mengalahkan anggaran pendidikan.
    tapi ketahuilah wahai pemimpin bangsa,
    bahwa jika pendidikan terus menerus di nomer sekiankan,
    tinggal tunggu waktu saja,
    indonesia akan makin jauh tertinggal,
    makin terinfeksi virus-virus kebodohan,
    kemiskinan makin meluas dan citra Indonesia di mata dunia akan tergilas…
    dan ingat juga permasalahan moral generasi muda(calon pemimpin bangsa)juga perlu diperhitungkan.

    entah 10-20 tahun lagi spt apa indonesia jika seperti ini keadaannya.(semoga bapak mengerti maksud saya)

    kepada Bapak Daniel, tolong ide-ide “menghadapi” BHMN untuk UI juga disalurkan ke ITS. jangan biarkan almamater tercinta kita dihuni hanya satu golongan saja.
    yaitu golongan “borjuis”
    semertara itu golongan menengah ke bawah akan tetap pada kemiskinan dan kebodohan karena tak punya kesempatan mengenyam pendidikan.

    kepada bapak Susilo Bambang Yudoyono.
    saya kini juga sedang memimpin organisasi kecil.
    dan dalam organisasi itu ada yang namanya proses kaderisasi dan regenerasi..(coba ibaratkan juga dgn negara yang Bapak pimpin)

    tolong…tolong….Bapakq tercinta
    saya berharap, jangan memikirkan pemerintahan pada masa jabatan bapak saja.
    tapi pikirkan juga kepemimpinan selanjutnya…
    10-20 tahun lagi,
    bentuk para kader-kader calon pemimpin bangsa ini..
    agar Indonesia tidak terpuruk dan semakin terpuruk natinya.
    salah satunya dengan menempatkan Pendidikan pada prioritas pertama anda…
    Ini Indonesia kita bersama pak!
    plizz…

    maaf jika ada salah-salah kata..
    saya siap diajak diskusi…
    sekian, dan terimakasih
    jazakumullah khairan kattsir

    yogi pramadhika*)
    *)ketua himpunan mahasiswa teknik kelautan FTK-ITS

  17. Syamsul Bachri Usman

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Sebelumnya saya ucapkan rasa kag bangga saya dan kagum saya kepada pemikiran2 bapak, tapi jka hanya bapak yang memiliki pemikiran seperti itu, apa itu akan terlaksana,

    secara konsep saya akui sudah bagus……..
    tapi apakah ada pihak yang berani menjamin bahwa kelak apabila PT.BHMN ini terealisasi, akan masih ada kesempatan bagi anak bangsa ini yang kurang beruntung untuk kuliah ataupun terus kuliah di ITS???????????

    Wassalam
    (Mahasiswa Teknik Kelautan 2006)

  18. joe

    Assalamu’alaikum wr wb
    Mungkinkah tanpa mengubah nama menjadi PT BHMN, ITS melakukan ide2 yang bapak sebutkan?
    Apakah arti sebuah nama? kan yang penting niatnya….

    Saya kira perlu 1000x pemikiran ulang kalau kita mau jadikan ITS menjadi PT.BHMN, untuk mengikuti ke-4 PT yang gagal mengemban misi visi PT BHMN yang ideal. Sehingga “korban” adalah calan penerus bangsa dari kalangan orang “miskin” dan juga mutu pendidikan tinggi kita yang semakin didominasi oleh orang “berduit tapi tak layak”.
    Maaf saya belum melihat point yang secara general bisa menjustifikasi perlunya PT BHMN. Pendapatnya demikian premature tanpa data statistik yang mendukung, terkesan dipaksakan untuk memenuhi “pesan boss”

    Kalau memang menggratiskan PT itu suatu hal yang jauh bagi pendidikan kita, sementara banyak bibit unggul generasi bangsa dari kalangan yang kurang beruntung. Ada usulan solusi dari saya;
    #pemerintah menyediakan dana pinjaman tanpa bunga kepada mahasiswa yang yang kurang mampu. Mereka dibebaskan membayar hutang klau berprestasi (anggap sebagai beasiswa berprestasi). Untuk mahasiswa yang lain (agar Bpk tidak bicara membiaya mhs yang “sak enake dewe”) diharuskan membayar hutang setelah mendapat pekerjaan dengan cara kredit.

    Terima kasih
    Wasalam
    Joe

    Insya Allah bapak sesekali pernah merenung dan meleburkan diri seandainya bapak di lingkungan keluarga yang kurang mampu, sementara gelora untuk kuliah sangat membara.

Leave a Reply to Ario Djatmiko Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *