Indonesia: Membaca atau Bubar!

membaca-atau-bubar

Merenungkan kemerdekaan RI ke-62 saat ini, eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa, serta prestasinya di kancah persaingan global, akan ditentukan oleh satu hal : rakyatnya membaca atau tidak. Jika rakyatnya tidak memiliki budaya membaca, Indonesia sebagai negara bangsa secara lambat namun pasti akan mengalami degradasi, disintegrasi, kemudian bubar, hilang dari peta dunia. Patut disayangkan bahwa kita gagal membangun masyarakat yang membaca. Budaya riset, pemanfaatan iptek, ethos kerja, produktifitas, kemerdekaan, kebangsaan, waktu, bahkan Indonesia hanyalah konsep-konsep ilusif yang sulit dipahami, dan dihargai oleh masyarakat yang tidak membaca.

Membaca tidak saja bisa dipahami secara literer, i.e. memaknai rangkaian huruf, kata, frasa, dan kalimat, namun juga “membaca” dalam arti memaknai rangkaian peristiwa kehidupan multi-dimensi. Jika mendidik berarti mengajarkan bagaimana memaknai seluruh pengalaman hidup, maka mendidik berarti mengajarkan bagaimana caranya membaca.

Bagaimana masyarakat Indonesia tidak membaca (secara literer) bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini : 5000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15000 judul/tahun, sementara Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun ! Jumlah judul buku baru yang ditulis, dan diterbitkan, kemudian dibaca oleh sebuah masyarakat menunjukkan kapasitasnya menggagas, dan melahirkan gagasan-gagasan baru. Kesimpulannya jelas : bangsa miskin adalah bangsa yang miskin gagasan. Pendidikan yang memperkaya gagasan dengan demikian merupakan strategi terpenting memerangi kemiskinan.

Akibat intervensi teknologi televisi, bangsa ini melompat dari budaya tutur, ke budaya menonton. Kita tidak sempat membangun budaya membaca. Banyak orang membeli produk-produk teknologi terbaru, namun tidak pernah membaca manual produk-produk tersebut. Banyak instruksi tertulis disebarkan (seperti “dilarang merokok”, atau “dilarang membuang sampah di sembarang tempat”) tidak “terbaca” sama sekali. Banyak Juklak, dan Juknis yang tidak dibaca, tidak dipahami, lalu tidak terimplementasikan dengan baik.

Indonesia hanyalah sebuah gagasan

Indonesia hanyalah sebuah gagasan, tidak lebih tidak kurang. Yang bisa kita lihat (sebagai pengalaman visual-spasial) sehari-hari dari kejauhan hanyalah bentangan laut biru, gugusan pulau, gunung dan lembah, hamparan sawah menghijau, kelok sungai, dan rumah di cakrawala. Kemampuan rakyat Indonesia untuk menggagas secara langsung akan mempengaruhi gambaran mental mereka tentang Indonesia. Konsep atau gagasan lain yang lebih kompleks dan abstrak seperti kebangsaan, nasionalisme memerlukan kemampuan menggagas yang lebih tinggi. Masyarakat yang tidak membaca akan mengalami kesulitan menghargai konsep-konsep abstrak yang penting dalam kehidupan berbangsa ini.

Menurut Kant, ada 2 gagasan yang penting yang kita pakai sebagai pijakan untuk memahami gagasan-gagasan lain yang lebih rumit, dan kemudian memahami semua pengalaman hidup : ruang dan waktu. Bagi Kant, ruang dan waktu adalah kerangka pikir (framework) yang kita butuhkan untuk memaknai semua pengalaman hidup (to structure sensual experiences). Waktu adalah sebuah pengurutan peristiwa (ordering of events), sedangkan ruang adalah tempat di mana rangkaian peristiwa tersebut terjadi. Dalam konteks ini harus dikatakan, sejarah (rangkaian peristiwa di masa lampau) Indonesia adalah bagian penting bagi pemahaman kita tentang Indonesia. Kegagalan kita membangun masyarakat yang membaca secara langsung akan menggerogoti kapasitas kita memahami sejarah Indonesia, dan Indonesia sebagai konstruksi rangkaian peristiwa di sebuah ruang Nusantara.

Strategi Budaya : Pendidikan liberal arts

Sayang sekali, pendidikan kita (kini telah merembet ke pendidikan dasar), beberapa dekade terakhir ini terlampau mendewa-dewakan sains dan matematika. Mereka yang paling berbakat hampir selalu dianjurkan untuk mengambil jurusan-jurusan IPA (teknik, dan kedokteran), bukan ke sastra, atau hukum, apalagi sejarah. Pendidikan bahasa kita buruk sekali. Guru-guru bahasa Indonesia keluaran IKIP atau eks-IKIP adalah guru kualitas-tiga. (kualitas satu tidak ke IKIP sama sekali, kualitas dua adalah guru matematika dan sains). Carut marut dunia hukum di Indonesia bisa dijelaskan dari sudut pandang ini. Pendidikan bahasa yang buruk adalah resep mujarab bagi pendidikan sejarah yang buruk, apalagi pendidikan sejarah tidak menentukan kelulusan murid. Siapa yang tertarik belajar sejarah saat ini ? Bahkan Pemerintah-pun tidak suka buku-buku sejarah (buku-buku sejarah yang “tidak benar” ditarik dari peredaran, lalu dibakar !).

kesenian budaya

Bagaimana kita bisa mengapresiasi waktu, dan masa depan, serta perencanaan (planning) sebagai proses mendesain masa depan, jika kita tidak mengapresiasi sejarah ? Negatif. Pendidikan dasar kita juga meremehkan pendidikan seni dan olah raga. Hampir semuanya diabdikan untuk sains dan matematika. Anak yang kurang berhasil di bidang matematika dan sains digolongkan menjadi murid yang ”tidak berprestasi”. Prestasi dalam Olimpiade sains dan matematika dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan. Pendidikan seni terbengkalai (kecuali bagi sebagian kecil anak Indonesia dari golongan kaya), terutama musik, padahal pendidikan musik memberikan pengalaman audi-temporal yang penting untuk memupuk kepekaan kita terhadap waktu, serta melatih pendengaran kita. Banyak dari kita kesulitan mendengarkan, bukan karena tuli, namun karena tidak terpapar pendidikan musik yang baik. Dari pendidikan musik, murid belajar tempo, ritme, dinamika. Dari pendidikan musik (juga olahraga) kita tahu betapa timing menentukan.

Banyak riset menunjukkan secara jelas, bahwa pendidikan musik juga meningkatkan prestasi akademik mahasiswa kedokteran dan teknik. Kebanyakan insinyur yang bekerja di Silicon Valley adalah pemain musik aktif. Negeri maju sebagai produsen banyak produk teknologi memiliki disiplin waktu yang sehat. Ketidakmemadaian paparan terhadap pengalaman temporal menyebabkan murid tidak peka waktu. Ketidakpekaan kita terhadap waktu adalah resep bagi ketidakdisiplinan waktu. Kita mentoleransi keterlambatan dan kelambatan. Budaya “jam karet” di mana-mana, sejak di kantor-kantor pemerintah, perjanjian bisnis, pertemuan di sekolah, sampai di terminal bandara udara. Mahasiswa Indonesia yang lulus tepat waktu kurang dari 30%.

Kemiskinan gagasan dan ketidakdisiplinan terhadap waktu merupakan 2 penyebab utama keterbelakangan bangsa ini. Pendidikan olah raga tidak saja menyehatkan, namun juga melatih koordinasi tubuh individual dan tim, serta memberi pengalaman spasial dan temporal yang penting (seperti kecepatan gerak dalam ruang). Oleh karena itu mudah dipahami jika masyarakat yang tidak terlatih secara spasial banyak melakukan pelanggaran tata ruang seperti tinggal di bantaran sungai dan tepian rel kereta api. Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan, 50% murid SD Indonesia kondisi kebugaran jasmaninya memprihatinkan. Ini menjelaskan mengapa prestasi olahraga Indonesia akhir-akhir ini merosot, dan kita kesulitan menemukan satu tim sepakbola dari sekian ratus juta penduduk Indonesia untuk menjadi juara ASEAN, apalagi ASIA.

Kita membutuhkan strategi budaya untuk mempertahankan Indonesia sebagai negara-bangsa, dan bangkit menjadi pemain dunia yang diperhitungkan. Pendidikan dasar kita harus mengakomodasi liberal arts secara tersistem, bukan sekedar ekstra-kurikuler, dan lebih diarahkan pada kompetensi-kompetensi afektif dan motorik. Pendewa-dewaan sains dan matematika harus diakhiri. Penghargaan pada seni dan olahraga tidak saja membuka bidang-bidang kehidupan baru yang penting secara ekonomi, namun akan juga menjadi basis sektor kreatif kita. Melalui pendidikan liberal arts ini kita memberikan bekal pada murid kemampuan “membaca” kehidupan, dan mengapresiasinya sebagai pengalaman spasial-temporal yang terbatas, dan singkat. Life is too damn short.

Comments

  1. Adib Susila

    Benar sekali apa yang Pak Daniel katakan, MEMBACA adalah hal UTAMA dan PERTAMA dalam setiap rancang-bangun peradaban.
    Kita seringkali heran, bagaimana mungkin bangsa-bangsa Muslim di dunia yang sudah mendapat perintah untuk “MEMBACA” hampir 1,5 Milenium yang lalu itu sampai hari ini belum ada satu pun yang mampu mengujudkan Reading Society di kalangan bangsa dan negaranya masing-masing.
    Sementara itu ketika saya berkesempatan membandingkan dengan bangsa-bangsa lain seperti AS, juga negara-negara Eropa, betapa apresiasi dan respek mereka akan literatur sastra benar-benar membuat iri (dalam arti positif).
    Katakanlah Jepang, misalnya, yang konon adalah saudara tua kita, selain capaian atas reading society, mereka sudah mampu pula membangun learning society. Padahal bukankah mereka adalah bangsa-bangsa yang non-Muslim? Yang sama sekali tak pernah mendapat perintah “MEMBACA” dari Tuhan dan Kitab Suci???
    Dalam salah satu kajian saya, paling tidak ada 7 lapis pengertian “MEMBACA” yang bisa dilakukan oleh manusia. Dan bila ke-7 lapis membaca itu dibuka dan dikuak satu per satu, saya optimis bangsa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa manapun di dunia. Bila Pak Daniel melakukan perbandingan kuntitatif, itu baik dan benar, tapi menurut saya belum cukup. Nah, dengan ditambah orientasi kualitatif dalam hal aktivitas dan pengertian membaca, maka prasyarat baik, dan benar akan ditambah dengan “cukup”, insyaAllah …
    I miss you so much.

  2. Guntar

    Indonesia adalah gagasan. I like it. Saya pikir ini jauh lebih baik ketimbang menganggap Indonesia sebagai sekedar tanah yang memiliki batas2 wilayah.

    Dengan cara pandang ini, maka masyarakat bisa membentuk konsep loyalitas yang cerdas, untuk pada gilirannya menjadi dasar dalam menorehkan kontribusi yang benar-benar menyentuh aspek signifikan dari “tanah air” tercintanya.

  3. Ajib Setya Budi

    Assalamu’alaikum Wr. Wb. mas Dan !
    Membaca adalah solusi, benar adanya. Rasulullah SAW sendiri ketika melihat carut marut bangsanya beliau “lari” ke goa untuk berkontemplasi. Namun apa yang terjadi, berkontemplasi alias menyepi di goa saja tak akan bisa meyelesaikan masalah. Di goa itu Muhammad Al Amien itu justru di “bentak” oleh Jibril diminta “membaca”. Tetapi cara “membaca”nya tak sama dengan cara “membaca” masyarakat pada umumnya (Qurays pada waktu itu). Jibril memperkenalkan “cara membaca” yang lain. Bukan sekedar membaca dengan alam pikiran sendiri ataupun segudang pengalaman yang ada pada waktu itu. Tetapi membaca dengan cara meminjam “kacamata” Tuhan. Itulah maka Iqra’ (bacalah) itu selalu dirangkaikan bi ismi rabbika ladzi kholaq (dengan nama Tuhan pembimbing hidupmu). Mengapa demikian ? Karena Pembimbingmu itulah yang telah mencipta segala sesuatu, Bahkan Tuhan pembimbingmu itulah yang telah menciptakan manusia. Jadi disini cara membaca dengan referensi dari Sang Pencipta itu adalah self evident truth (la raiba fiihi). Jadi, kalau kita sekedar “menggalakkan” budaya membaca tetapi yang dibaca merupakan produk sampah maka hasilnya: garbage in garbage out. Terus terang, cara membaca seperti ini asing dan bahkan dianggap kurang meyakinkan. Tetapi sudah menjadi kebiasaan manusia dari zaman kezaman, selalu saja mereka merasa bisa mengatasi berbagai persoalan hanya dengan mengandalkan kemampuan fakultas-fakultas rohani (cipta, rasa, karsa) yang dimilikinya. Tuhan menyindir sebagai an roahustaghna (mereka melihat dirinya serba cukup). Padahal segala maha rujukan itu dari Sang Pencipta (Inna ila rabbika ruj’a). Bukankah orang pandai di negri ini sudah sangat banyak, tetapi mengapa tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya. Saya yakin, walau makin banyak di Republik ini yang bergelar S2 maupun S3 nya, tetapi selama tak mau , mendengar “nasehat-nasehat dari langit” maka hanya akan menciptakan peradaban rayap (persis seperti peninggalan kejaan Sulaiman). Rayap, walaupun kelihatan “sangat sibuk” tetapi mereka bukan membangun, melainkan “memakan apa saja yang ditempatinya’. Hanya sayangnya, di zaman kita ini “pesan dari langit” itu tak pernah dipelajari secara jujur ilmiah (siddiq), cerdas (fathonah) dan disajikan secara komunikatif ( tabligh). Wallahu a’lam.
    Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

  4. daniel rosyid

    Alhamdulillah, terimakasih atas masukan mas Adib, dik Guntar, dan Ajib.
    Saya sependapat dengan panjenengan.
    Maaf baru jawab sekarang.
    Wassalam.
    Daniel

  5. Ajib Setya Budi

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.
    Mas Dan, di Ramadhan ini saya ingin melanjutkan lagi menanggapi tulisan Anda tentang membaca.
    Selain “Kacamata Tuhan” seperti yang saya tulis sebelumnya, dalam membaca yang juga penting dan harus diperhatikan adalah obyek yang harus dibaca. Bila obyek pertama yang harus dibaca itu salah pilih, maka boleh jadi peradaban yang kita bangun hanya mengekor peradaban barat yang telah kita ketahui bersama tingkat kriminalitasnya sangat tinggi. Jadi, meskipun sainteknya maju, tetapi bila menciptakan “neraka kehidupan” bagi bangsa-bangsa lain apa artinya. Dalam al ‘Alaq ayat 2 dijelaskan bahwa obyek yang harus di baca yang paling utama dan pertama adalah bahwa “semua manusia itu dicipta Allah dari asal usul yang sama yaitu paduan ovum dan sperma” (kholaqal insana min ‘alaq). Prinsip dasar inilah yang akhirnya menciptakan revolusi bagi Bilal bin Rabbah (Budak hitam sahabat Rasulullah SAW) yang akhirnya menumbuhkan rasa percaya dirinya (Pede) bahwa pada hakikatnya manusia itu diciptakan dari asal usul yang sama yaitu ‘alaq. Inilah yang dalam bahasa hukum adanya prinsip “man equal behind the law”. Juga atas dasar prinsip inilah yang mendorong keberanian Nabi Musa (yang hanya berstatus sebagai anak pungut) berhadapan dengan maha raja Fir’aun yang tiranik.
    Selanjutnya tentu kita masih ingat, Bung Karno menyebut kepada bangsa kita sebagai bangsa kuli karena mentalitasnya yang sangat minder warder bila berhadapan bangsa penjajah. Oleh karena itu, yang harus dibangkitkan atas bangsa Indonesia ini adalah kesadaran bahwa pada hakekatnya semua manusia ini memiliki derajat yang sama. Itulah yang harus benar-benar kita “baca”. Bila kesadaran ini muncul, maka tentu akan menciptakan perubahan yang luar biasa. Anggapan sebagian orang kulit putih bahwa orang kulit berwarna adalah evolusi yang belum selesai harus benar-benar dihilangkan dari kesadaran bangsa ini. Mitos-mitos dan doktrin-doktrin adanya bangsa pilihan Tuhan (The choosing peole), kami putra Tuhan (Nahnu abna Allaah), Deutsland uber alles, Nippon pemimpin, pelindung dan cahaya Asia dalam gerakan 3 A; semua harus dihapus dari kesadaran kita.
    Itulah mungkin sedikit petunjuk yang bisa kita peroleh dari nasehat surat al ‘Alaq ayat 1-2 bila kita menghadapi krisis ini dengan pertanyaan :
    1. Bagaimana saya harus membaca berbagai persoalan itu ?
    2. Apa yang harus saya baca pertama sekali ?
    Wallahu’alam bi al shawab.
    Selamat menunaikan shaum ramadhan !
    Wassalaumu’alaikum Wr. Wb.

  6. n3n3_42na

    Assalamu’alaikum Wr. Wb.
    Saya sependapat dengan apa yg bpk tulis.
    Kebanyakan masyarakat saat ini hampir melupakan budaya membaca. Waktu mereka lebih terforsir untk menonton tv. Yg saya sayangkan, berbagai fasilitas u/ membangun budaya membaca sudah banyak, akan tetapi belum juga ada kesadaran.
    Maaf Pak, Lo boleh..ada saran ga untuk mendukung program saya membudayakan membaca sejak dini pada masyarakat di daerah saya yang notabene kurang kondusif untuk menjalankan program tsb.
    Terimakasih.
    Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

  7. wardani eko setyo

    membaca bagi saya adalah hidup itu sendiri, dengan membaca masuk dalam puncak2 ilmu pengetahuan. ada motivasi baru, gagasan2 yang segar, sepertinya tanpa membaca kita tidak akan banyak belajar, saya orang banyumas yang menjadi guru di tanjungpinang kepulauan riau. bersyukur sekali bertemu dengan ide-ide segar bapak. wassalam.

  8. satubintang

    alhamdulillah
    tulisan ini paling tidak semakin memotivasi saya untuk segera menghabiskan buku2 koleksi saya..
    hobi beli buku, tapi kecepatan membacanya jauh lebih lambat dibandingkan kecepatan membelinya 😀

    jzk pak
    ayo membaca, dan membudayakan membaca

  9. arianto

    baru saya sadari di usia yang semakin tua, membaca ternyata mengasyikkan melebihi kenikmatan menonton tv, atau hiburan yang membuat kita terlena :), dengan membaca membuat kita lebih peka, otak kita lebih banyak untuk berpikir dan mencoba untuk mengapresiasikannya dalam kehidupan sehari-hari. matur nuwun sanget pak atas artikel nya, saya senang sekali bisa sampai disini. salam kenal dan sukses untuk anda semua 🙂

  10. jessica wicitra

    assalamualaikum wr wb
    Dalem setuju sanget dengan njenengan,jadi pe-er kita semakin banyak untuk anak-anak penerus bangsa nggih Pak.Saya pun sampai memilih ananda Hamzah berhomeschool agar saya nyata mengajari(dan belajar tentunya karena nak2 bukan hanya murid tapi juga guru terbaik kita) ananda untuk mencintai “Iqro'”…
    Mohon nanti setelah web Hamzah jadi Dalem mohon masukan dari Panjenengan.
    Kali ini saya semakin berani kalau Hamzah berhomeschooling…
    karena semakin banyak orang pintar menularkan ilmunya dengan sukarela ditengah badai UU BHP yang lulus…
    Maturnuwun sanget dalem bisa share dengan njenengan.
    Wassalamualaikum wr wb

  11. Ahmad Haes

    Kok tak ada postingan bagu?! Tak ada waktu, atau tak merasa bertanggung-jawab? Atau kerena Indonesia sudah bubar?

Leave a Reply to Adib Susila Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *