Sekolahrumah (1): Strategi Deschooling dalam Peningkatan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional

sekolahrumah
Menanggapi tulisan menarik dari Dewa Gde Satrya berjudul ”Homeschooling untuk Anak Wong Cilik ?” di rubrik ini (Kompas Jatim 20 Juli 2007), saya akan melihat isu sekolah rumah ini dari sudut peningkatan kinerja Sistem Pendidikan Nasional. Arsitektur Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diamanahkan oleh UU Sisdiknas yang berlaku saat ini sebenarnya sudah cukup baik dan memiliki robustness(kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan) yang cukup. Rancangan Sisdiknas diarahkan untuk membangun good education governance melalui instrumen-instrumen otonomi dan akreditasi sekolah, dan sertifikasi guru. Pemerintah menentukan norma-norma kebijakan dan standar nasional, dan otonomi diberikan hingga ke tingkat satuan pendidikan. Ini semua dimaksudkan untuk mendorong penyediaan layanan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Sayang sekali, program pendidikan nasional yang berlangsung saat ini terbukti justru menggerogoti kinerja sistem pendidikan nasional dan terlalu berorientasi pada sisi penyediaan layanan pendidikan, kurang memperhatikan sisi kebutuhannya. Banyak Peraturan Pemerintah dan Peraturan ataupun Keputusan Menteri Pendidikan Nasional yang tidak memperkuat Sistem Pendidikan Nasional. Potret pendidikan nasional masih ditandai dengan formalisme yang luar biasa, bahkan mengarah pada too-much schooling.Otonomi sekolah dan guru dirusak oleh Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan peserta didik.Sekolah dan guru tidak lagi aktor pendidikan yang dapat dipercaya, bahkan oleh Pemerintah sendiri.

Kewajiban pemerintah untuk memastikan layanan pendidikan yang bermutu melalui akreditasi sekolah praktis tidak berjalan secara baik, dan sertifikasi guru amat terlambat dilakukan. Pemerintah justru menyibukkan diri menagih kinerja belajar peserta didik melalui Ujian Nasional, namun lalai menagih kinerja sekolah melalui akreditasi, dan kinerja guru melalui sertifikasi guru. Kesenjangan sarana dan prasarana sekolah, bahkan antar satuan pendidikan negri, masih amat lebar. Akibatnya, setiap Penerimaan Siswa baru (PSB) berbagai macam pungutan harus dihadapi oleh wali murid. Favouritisme sekolah menjadi gejala yang umum. Timbul kesan yang kuat bahwa sekolah dan guru adalah institusi yang suka ”meminta” (sebuah teladan yang amat buruk bagi murid), bukan institusi yang ”memberi”. Baik SD maupun SMP negeri melakukan berbagai macam seleksi masuk, termasuk seleksi yang didasarkan pada kemampuan keuangan calon peserta didik. Program Wajib belajar 9 tahun di lapangan sama sekali tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Pendek kata, banyak sekolah-sekolah kita (terutama negeri), yang tidak lagi ”ramah anak”, baik secara intelektual, sosial, maupun finansial. Penyeragaman yang luar biasa akibat didorong oleh Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa telah mengakibatkan penyeragaman sajian layanan pendidikan : skolastik-akademik. Minat, bakat, dan kemampuan anak yang beragam, dan unik dengan kecerdasan mejemuknya diabaikan secara sistematik. Banyak guru yang tidak memahami tanggungjawab dan etika profesi guru, tidak mampu mengembangkan proses pembelajaran yang inovatif dan luwes sehingga gagal membangun pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) boleh dikatakan mandeg di tangan guru-guru yang tidak kompeten ini.Dapat dikatakan bahwa budaya (kultur) birokrasi pendidikan nasional tidak berubah, walaupun struktur-nya sudah dirancang baru. Pemerintah masih sangat berorientasi pada sisi penyediaan layanan pendidikan (supply side). Inipun masih amat jauh dari harapan. Sisi kebutuhan (demand side) pendidikan belum ditangani secara memadai.

Comments

  1. Syamsul Bachri Usman

    Yups setuju…. pak

    pendidikan rumah seringkali diabaikan oleh para orangtua dewasa ini, mereka bahkan sering menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada lembaga pendidikan, padahal kita ketahui bersama bahwa tidak semua hal dapat diperoleh sang anak melalui pendidikan formal,

    oleh karena itu peran orangtua juga dituntut dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak2nya……….

  2. fernandus m djamiraga

    Sebelumnya saya menyampaikan terima kasih kepada Bapak atas bantuan dan sarannya karena 2 (dua) anak kami ( abraham reuben dan axl christopher ) mulai tahun ajaran ini mulai mengikuti homeschooling.
    Pendidikan di indonesia harus diakui masih banyak kelemahan dan kekurangan yang harus dibenahi. Masalah ini merupakan tanggungjawab kita semua. Respon pemerintah, dgn. diakuinya homeschooling, diharapkan dapat mengurangi kelemahan dalam sistem pendidikan yang ada.
    Dan semoga ini juga dapat direspon dgn baik oleh para orang tua dan pendidik lainnya.
    trims

  3. MAya A Pujiati

    Salam kenal Pak Daniel,
    Saya setuju dengan paparan Bapak.
    Jika dunia pendidikan di negeri kita hanya mengandalkan sekolah formal (yang kini kian tak ramah untuk pembelajaran anak-anak), bagaimana nasib generasi penerus kita di masa mendatang…

    Keep writing, Pak Daniel!

  4. Daniel Rosyid

    Terimakasih atas masukan dan encouragement Pak Usman, pak Fernandua, dan Ibu Maya.
    Melihat site Ibu Maya tentang Pendidikan Rumah, bagus sekali.
    Salam hormat.
    Daniel Rosyid

  5. Fajar

    Salam Pak Daniel. Saya sepakat jika homeschooling dimaksudkan sebagai complementary and supplementary. Ini artinya kita harus menyiapkan lebih banyak ‘orang tua’, atau ‘keluarga’ untuk memiliki kesadaran belajar yang bagus. Tapi ada juga kekhawatiran homeschooling ini akan men-degradasi sense of social anak, mengingat adanya kecenderungan homeschooling ini lebih banyak diterapkan oleh keluarga kaya untuk mempertahankan ke-eksklusifan mereka.

    terima kasih

  6. Fenty Mulia Heryanty

    assalamu’alaikum pak Daniel, semoga bapak dan keluarga sehat dan baik.
    senang sekali dan sangat informatif ulasan yang bapak paparkan melalui media ini mengenai home schooling sebagai pendidikan alternatif di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan saat ini. semoga pemerintahan menyadari fenomena yang ada sehingga tidak menganggap hal tersebut menjadi suatu ancaman bagi dunia pendidikan. dan semoga para pakar pendidikan dan para orang tua memahami dengan bijak dan benar bahwa home schooling bukanlah media pendidikan yang dipandang sebelah mata dan tidak diperhitungkan sebagaimana sekolah foemal yang ada. maju terus pendidikan Indonesia.

  7. A Riza Wahono

    Assalamu alaikum bang,

    longtime no see, terakhir semasa kibar di UK dulu yach

    Kita punya keprihatinan yang sama nih,
    sehingga kami di depok membuat Madrasah Intl TechnoNatura, dengan semangat mini school komunity, konsep homescholling yang kami terapkan secara komunitas, alhamdulillah sudah 76 anak bergabung saat ini lho.

    Insha Allah kapan kapan ketemuan tuk sharing pengalaman nih brother..

    wassalam

    A Riza Wahono
    CREATE Foundation
    Proudly Presents
    http://www.technonatura.org
    www. edutekh.com

  8. diana dj

    assalamualaikum pak,,.
    saya salah satu peserta seminar pendidikan alternatif (sabtu 5 jan ’08) yg diadakn di aula indosat, sby beberapa minggu lalu.

    setelah saya mencermati beberapa materi yang saya dapat dari seminar tersebut ada beberapa hal yg ingin saya tanyakan kepada bapak.

    – tolong dijelaskan lagi secara lebih rinci ttg konsep strategi deschooling dong pak, soalnya saya masih sedikit belum nyambung, atau mungkin bapak punya informasi ttg sumber2 referensi ttg deschooling yg bisa saya akses?
    – pd seminar kemarin dulu, dikemukakan bahwa homeschooling itu adalah slah satu bentuk strategi deschooling, nah saya ingin tahu, sebenernya apa saja sih bentuk2 lain dari strategi deschooling selain homeschooling?
    – disebutkan pula bahwa komersialisasi pendidikan di indonesia itu kan dapat dihindari dg mengurangi derajat ‘too-much-schooling’, nah maksudnya ‘too-much-schooling’ tuh yg seperti apa ya?
    – oh ya pak, sebenarnya penerbitan ijazah itu diatur dalam kebijakan pemerintah atau ndak?, apakah penerbitan ijazah oleh lembaga pendidikan itu merupakan kewajibannya lembaga pendidikan tersebut?, kalau iya, berarti apa bisa dikatakan bahwa, wacana ttg ‘tdk-perlunya penerbitan ijazah’ pd suatu lembaga pendidikan, sedikit banyak akan menimbulkan adanya ‘penyempurnaan’ kebijakan pemerintah dong?
    – secara realitas, seberapa besar sih peluang ijazah kesetraan (paket c, misalnya) bisa digunakan untuk daftar masuk PTN? apakah bapak punya info data2 ttg hal itu? saya sangat berharap bisa ,mendapatkan informasi tersebut.

    terimakasih atas jawabannya.
    wassalam.

  9. ghosty1st

    asslamualaikum
    pak saya gusti dari despro ITS. saya ingin sharing ke bapak tentang program karya sosial yang saya jalankan bersama beberapa teman. mengenai konsepnya saya kirim ke email anda. mohon bantuan saran, kritik, dan masukkan dari anda, sehingga apa yang kami lakukan benar-benar bisa sesuai dengan apa yang kami inginkan. terima kasih pak.
    wassalam

  10. hayyu

    asalamu’alaikum……..
    pak saya ingin menanyakan apa saja kelemahan dari home schooling itu?
    dan apakah mereka dapat bergaul baik dengan dunia luar?

  11. jessica wicitra

    Assalamualaikum wr wb
    Saya jessica Ibu dari Hamzah yang berhomeschooling karena ananda kami dikeluarkan dari sekolah dasar bilingual karena saya sudah tidak mampu membayar sppnya,dan ketika mulai homeschooling ternyata SUBHANALLAH,saya menyadari bahwa homeschooling jauh lebih baik dari sekolah formal yang selangit biayanya.Dan untuk sosialisasi,Hamzah tidak mengalami kesulitan yang selalu dianggap orang anak yang berhomeschooling jadi tekungkung dsb.Malah ananda kami bisa berkomunikasi dengan baik dengan siapapun,lintas usia dan penyampaiannya juga tidak masalah.Monggo dipersani perjalanan HS Hamzah di http://www.hamzah.0fees.net
    tapi mohon maaf masih jauh dari sempurna,tapi setidaknya saya tidak khawatir dgn UU BHP yang mulai mengganas.
    matur nuwun
    Wassalamualaikum wr wb.

Leave a Reply to Daniel Rosyid Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *