Menyongsong Kebijakan Kelautan Indonesia : Tantangan Ruang

 

 

Pendahuluan

Sudah hampir sepuluh tahun terakhir ini Kementrian Kelautan dan Perikanan RI berupaya menyiapkan sebuah Peta Jalan pembangunan kelautan nasional sebagai isu lintas-sektor. Satu pedoman penting yang perlu segera diselesaikan dalam penyusunan peta jalan itu adalah Kebijakan Kelautan Nasional yang diwujudkan dalam sebuah Undang-Undang Kelautan RI. UU Kelautan ini akan diposisikan sebagai UU induk/payung yang memberi kerangka bagi regulasi dan kebijakan yang menyangkut semua kepentingan nasional kita di laut dalam jangka panjang, termasuk UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Sementara itu pemanfaatan laut di luar batas wilayah kewenangan Propinsi belum diatur.

 

Kebijakan Kelautan Nasional dapat dimaknai sebagai pengejawantahan Deklarasi Juanda 1957. Deklarasi Djuanda adalah terobosan besar yang menggenapi konsepsi RI sebagai negara yang berdaulat dengan Pancasila sebagai dasarnya. Deklarasi Djuanda mencerminkan kesadaran ruang yang baru, sebuah lebensraum baru yaitu ruang kepulauan yang kemudian dilengkapi dengan atribut “bercirikan Nusantara” dalam UUD45 yang sudah diamandemen. Perlu disadari bahwa penguasaan ruang adalah syarat perlu bagi penguasaan atas semuanya yang ada dalam ruang itu.

 

Tantangan penguasaan atas Nusantara sebagai ruang adalah, pertama, apakah kita bisa menegakkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi sekaligus menjamin keadilan melalui pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI, lalu berkepribadian dalam budaya, tanpa menjadi negara maritim ? Kedua, jika menjadi negara maritim adalah sebuah keniscayaan geostratejik (geostrategic default), apa yang harus dilakukan untuk menjadi negara maritim itu ? Kebijakan Kelautan Nasional harus menjawab kedua tantangan tersebut. Karena pembangunan kelautan ini harus berakar pada jatidiri bangsa, maka kebijakan Kelautan Nasional juga perlu memberi basis budaya bagi pembangunan kelautan itu.

 

Pembangunan apapun di abad 21 tidak bisa lagi mengabaikan keberlanjutan (sustainability). Kesalahan pokok model pembangunan yang dimulai sejak revolusi industri di Inggris di abad 18 adalah obsesinya pada pertumbuhan tinggi yang telah mendorong kegiatan ekonomi yang eksploitatif. Prinsip-prinsip Small is Beautiful yang dikembangkan oleh EF. Schumacher maupun Deschooling Society oleh Ivan Illich bisa dijadikan platform reflektif sebagai pertaubatan ekologis. Kerangka Blue Economy yang diajukan oleh Gunther Pauli bisa menjadi arahan di tingkat unit bisnis bagi pembangunan kelautan yang berkelanjutan. Kebijakan Kelautan nasional perlu memberi basis bagi pembangunan yang memperhatikan kelestarian lingkungan.

Kebijakan Politik dan Ekonomi serta Tatakelola Kelautan

Dalam perspektif politik, negara maritim adalah negara yang mampu mengelola kepentingan maritimnya secara efektif demi kedaulatan politik, dan kemandirian ekonominya. Kepentingan maritim adalah kepentingan pemanfaatan laut sebagai ruang kehidupan (lebensraum). Prinsip pertama hukum laut adalah bahwa laut adalah kawasan bebas bagi siapapun (mere liberum) asal memiliki kemampuan teknolojik untuk hadir secara efektif di laut yang secara alamiah inhabitable itu. Kepentingan maritim itu pertama harus dibuktikan melalui kehadiran secara efektif oleh armada kapal lautnya di perairan laut yang penting. Amerika Serikat adalah negara benua, namun memiliki armada laut terbesar di dunia dan menempatkan armadanya di berbagai wilayah perairan di dunia. Cina di awal Abad 21 ini semakin membangun kemampuan maritimnya untuk hadir di Laut Cina Selatan yang penuh konflik kepentingan.

Kepentingan maritim Indonesia demikian besar saat Indonesia didefinisikan sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara. Demikian rumusan tentang wilayah Indonesia dalam UUD’45 yang sudah diamandemen. Demikian itu pula pengakuan internasional atas Indonesia yang dirumuskan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 : archipelagic state. Rumusan negara kepulauan ini adalah rumusan jalan-tengah yang lebih workable dibanding misalnya rumusan Indonesia sebagai benua maritim yang diajukan oleh BJ. Habibie. Sebagai negara kepulauan, adalah kepentingan domestiknya sendiri Pemerintah RI harus hadir secara efektif di seluruh wilayah perairan nasional yang mencakup sekitar 70% wilayah NKRI. Kehadiran itu persyaratan mutlak untuk mempertahankan kedaulatannya serta memastikan konsolidasi pasar domestik bagi kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote.

 

Sayang taqdir alamiah sebagai negara kepulauan itu tidak diterjemahkan dalam paradigma pembangunan selama 40 tahun terakhir ini sejak Orde Baru. Bung Karno dijatuhkan pada saat dia hampir berhasil menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim yang disegani di Asia dengan dukungan Uni Sovyet waktu itu. Masa reformasi ditandai pergeseran paradigma itu saat Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut yang kini menjelma menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sayang pemerintahan Gus Dur harus lengser lebih cepat, dan pemerintahan penggantinya praktis gagal mengembangkan paradigma kepulauan itu secara lebih tersistem, walaupun KKP tetap ada sebagai sektor.

 

Salah satu implikasi terpenting dari paradigma kepulauan itu adalah memandang armada pelayaran nasional sebagai infrastruktur transportasi. Saat ini para perencana pembangunan masih dihinggapi paradigma pulau besar yang memahami infrastruktur transportasi itu adalah jalan, jembatan dan pelabuhan, sedangkan armada pelayaran dianggap bukan infrastruktur. Tidak mengejutkan apabila Ditjen Binamarga jauh lebih kuat daripada Kementrian Perhubungan sekalipun, apalagi Ditjen Perhubungan Laut. Gagasan membangun jembatan antar- pulau di selat Sunda adalah contoh buah pikir paradigma pulau besar ini. Kekeliruan ini juga menjelaskan mengapa postur industri pelayaran nasional (termasuk layanan fery penyeberangan), dan TNI AL jauh dari memadai untuk tugas-tugas angkutan, pemantauan, pengamanan dan penegakan hukum di laut yang bentangnya seluas benua Eropa ini.

 

Akibat kesalahan paradigmatik ini para perencana pembangunan gagal menyediakan insentif untuk membangun iklim investasi yang kondusif bagi industri pelayaran dan perkapalan (sebagai infrastruktur transportasi) serta kepelabuhanan yang umumnya bersifat slow-yielding. Perbankan lebih senang membiayai pembangunan apartemen dan hotel daripada pengadaan kapal ferry dan penyeberangan sebagai sektor yang highly regulated. Hingga saat ini sektor maritim kita masih menjadi pengumpan (feeder) bagi kejayaan pelabuhan Singapura. Dengan adanya UU 17/2008 tentang pelayaran, sektor pelayaran sudah semakin baik, tapi belum diikuti oleh industri perkapalannya. Sementara itu, armada TNI AL didominasi oleh kapal-kapal tua yang rancangannya sudah kadaluwarsa sementara kuota BBM bagi armadanya jauh dari memadai. Amanah regulasi ini bagi pembentukan Pengawal Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) hingga saat ini gagal dilaksanakan karena ketiadaan national leadership untuk merekonsiliasikan berbagai konflik kepentingan sektoral yang selama ini berkecamuk bertumpangtindih di laut. Akibatnya adalah ketidakpastian hukum yang tinggi yang pada gilirannya menurunkan minat investor untuk menjalankan bisnis di sektor ini.

 

Ketimpangan pendapatan yang memburuk selama masa reformasi ini juga diikuti oleh kesenjangan antar-wilayah yang makin buruk juga. Ini adalah ancaman langsung atas keutuhan NKRI. Rasio Ginie nasional mencapai 0,42 pada tahun 2013, terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Kinerja logistik nasional kita buruk sehingga produk-produk agro-kompleks domestik kita tidak memiliki daya saing dengan produk-produk impor. Harga jeruk Kalimantan lebih mahal dripada jeruk impor dari Cina di pasar-pasar pulau Jawa. Keterbelakangan infrastruktur di luar Jawa menjelaskan ketimpangan antar-wilayah ini.

 

Kebijakan Kebudayaan Kelautan

Dalam hal kebijakan budaya kelautan, penyiapan SDM melalui pendidikan, perlu dicermati bahwa sistem persekolahan nasional yang menekankan keseragaman secara nasional (melalui Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan misalnya) justru telah mengasingkan warga muda di daerah dari kekayaan daerah dan potensi lokal mereka sendiri. Inilah yang menjelaskan mengapa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menjadi kaum urban walaupun hanya mampu bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah di perkotaan. Petani dan nelayan kita makin tua, karena sistem persekolahan gagal menyediakan warga muda dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk membangun sektor agrokompleks yang penting ini. Kemandirian pangan tanpa ketersediaan warga muda yang kompeten di bidang pangan adalah omong kosong.

 

Sistem persekolahan gagal menyediakan warga muda yang mandiri dengan wawasan wirausaha. Itulah kesimpulan Sri Sultan HB X dalam kongres pendidikan dan kebudayaan baru-baru ini yang diselenggarakan oleh UGM di Jogyakarta. Padahal, untuk membangun budaya maritim, pendidikan kita harus menumbuhkan sikap risk-taking dan outward-looking yang dibutuhkan untuk mengembangkan budaya kemandirian, dan kewirausahaan. Tidak mungkin membangun tradisi maritim tanpa membangun tradisi kesaudagaran (trade and commerce). Semangat dagang adalah benih kewirausahaan dan kemandirian. Sistem persekolahan saat ini memuja capaian-capaian akademik yang sempit, menomorsatukan kepatuhan dan keteraturan sehingga menghambat kreativiti dan kemandirian.

 

Sesungguhnya kita memiliki tradisi maritim yang panjang, bahkan lebih panjang dari zaman Sriwijaya. Pelaut Nusantara telah dikabarkan kehadirannya di zaman Mesir Kuno. Bahkan Stephen Oppenheimer dalam Eden in the East menunjukkan kemungkinan eksodus manusia perahu Nusantara melalui jalur laut ke Utara (Cina dan Jepang), ke Barat (India), ke Selatan (Australia) dan ke Timur (Polinesia) sejak berakhirnya zaman es dan terjadinya banjir besar yang menenggelamkan paparan Sunda sekitar 12 ribu tahun silam. Ekspedisi Thor Hayerdahl pada 1947 sejauh 8000km dari Peru ke Tuamotus Polinesia dengan katamaran Kon Tiki dari kayu balsa membuktikan kemungkinan eksodus itu. Artinya, maritim adalah identitas budaya yang melekat pada diri bangsa Indonesia, bahkan secara genetik seperti yang ditunjukkan oleh Oppenheimer itu.

 

Kebijakan Keamanan Maritim

Jika kemudian di awal abad 21 ini Cina memilih mengembangkan kekuatan maritimnya untuk menjangkau kepentingannya di perairan internasional seperti di Laut Cina Selatan, pilihan Indonesia untuk menjadi negara maritim adalah, pertama, keniscayaan geostratejik untuk berdaulat di atas perairan teritorialnya sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip negara kepulauan. Kedaulatan itu artinya kemampuan untuk menghadirkan diri secara efektif dalam rangka memastikan keterhubungan yang luas dan aman antar-pulau di seluruh wilayah NKRI dengan menggunakan armada pelayaran nasional, kapal- kapal KRI milik TNI AL dan kapal- kapal negara lainnya, terutama yang dikelola oleh Penjaga Laut dan Pantai RI. Artinya, untuk berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, menjadi negara maritim adalah pilihan takterelakkan. Kedua, kita juga memiliki kepentingan ekonomi atas perairan internasional untuk kepentingan perdagangan internasional maupun eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam yang terkandung di badan air laut maupun dasar lautnya.

 

Studi kami menunjukkan bahwa industri maritim yang menjadi kunci kinerja negara maritim telah dikorbankan oleh model pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan tinggi selama dua dekade terakhir Orde Baru namun ternyata rapuh dan diperparah oleh kapitalisme kroni. Obsesi pertumbuhan telah menyebabkan konsentrasi pembangunan hanya di Pulau Jawa saja, persisnya di sekitar Jabodetabek saja. Kemudian juga akumulasi kekayaan pada segelintir kelompok tertentu. Oleh karena itu, menjadi negara maritim mensyaratkan model pembangunan yang lebih mengutamakan keadilan dan pemerataan pembangunan, bahkan bukan pertumbuhan berkualitas yang ilusiv. Kita harus menerima pertumbuhan yang rendah namun lebih adil dan merata di seluruh wilayah NKRI.

 

Salah satu kunci dalam pembangunan yang mengutamakan pemerataan itu adalah kebijakan energi yang lebih mengutamakan pengendalian kebutuhan energi, bukan sekedar diversifikasi bauran pasokannya. Needs of energy di luar Jawa harus diprioritaskan pemenuhannya, sementara wants of energy di pulau Jawa tidak harus dipenuhi atau bisa dipenuhi dengan biaya yang lebih tinggi. Pemenuhan BBM di Jawa adalah pemanjaan yang keliru yang telah menyebabkan ketergantungan bahkan kecanduan BBM yang berbahaya, polutif dan tidak berkelanjutan.

 

Kebijakan subsidi BBM adalah keliru karena demand pada BBM lebih didorong oleh keinginan (wants) berkendaraan pribadi daripada kebutuhan (needs) bermobilitas yang sebenarnya dapat dipenuhi secara transit dengan berjalan kaki atau bersepeda atau dengan angkutan umum. Bangunan hijau yang tidak bergantung pada pendingin ruangan serta lingkungan terbuka hijau perlu diutamakan. Anggaran subsidi BBM kemudian bisa direalokasikan bagi pembangunan armada kapal ikan dan pelayaran nasional, TNI AL dan Penjaga Laut dan Pantai berkelas dunia.

 

Penutup

Draft Kebijakan Kelautan Nasional dan RUU Kelautan telah mencakup pokok-pokok pikiran utama peta jalan pembangunan kelautan menuju Indonesia negara kepulauan yang berdaulat, adil dan makmur. Harus dicermati kebijakan yang dipijakkan pada paradigma pertumbuhan karena berpotensi mengulangi kesalahan eksploitasi matra darat selama ini. Obsesi pertumbuhan tinggi akan mendorong gaya hidup energi-tinggi, menimbulkan ketimpangan pendapatan dan kesenjangan wilayah, lalu akan meniscayakan PLTNuklir dan penjajahan atas bangsa lain.

 

Kebijakan Kelautan ini harus dipahami sebagai upaya hijrah kembali pada jati diri bangsa sebagai bangsa bahari dan Indonesia sebagai negara maritim yang cinta damai dan bergaya hidup energi- rendah yang memungkinkan keadilan dan kesejahteraan dalam jangka panjang bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika baru- baru ini Caki Nun mengatakan bahwa Majapahit bukan masa lalu kita, ia adalah masa depan kita.

 

Kepustakaan

 

Illich, Ivan “Deschooling Society”. Harper and Row. 1971

 

Oppenheimer, S. ” Eden in the East”. Weidenfeld and Nicolson. 1998

 

Pauli, Gunther “Blue Economy”. Paradigm Publication. 2010

 

Rosyid, D.M. “Peran Industri Maritim dalam Sistem Keamanan Maritim di Abad 21”. Jurnal Pertahanan, edisi Agustus 2013.

 

Rosyid, D.M. dan Ekowanti, M.L “Degrowth dan Visi World Class Navy”. Jurnal Pertahanan, edisi Desember 2013.

 

Rosyid, D.M ” Modernitas Baru Untuk Indonesia di Abad 21: Perspektif Maritim dan Energi”. UHT Press-PT. Nusantara Regas. 2014

 

Schumacher, E.F.” Small is Beautiful : a Study of Economics as if People Mattetered”.

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *